"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Selasa, 30 Agustus 2016

HOS Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa

Agustus 30, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , No comments
Di awal bulan lalu saya berjalan-jalan di Gramedia Pejaten Village Mall, mencuci mata dengan buku-buku yang duduk centil di rak masing-masing. Toko buku itu seperti Surga Dunia. Lalu mata saya melihat salah satu buku menarik; Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa. Melalui tulisan ini, saya akan sampaikan kesimpulan dari apa yang saya baca (walau baru sekali, hehe) dengan tambahan sedikit opini. Semoga bermanfaat.


***

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang Guru Pendiri Bangsa kelahiran Bakur, Madiun, 16 Agustus 1882.

Beliau adalah seorang guru yang sangat berwibawa, cerdas, sangar, dingin, senang berdiskusi hingga menghasilkan banyak murid yang akan mewarnai sejarah Indonesia. Murid-murid beliau antara lain Agoes Salim, Soekarno, Buya Hamka, Kartosuwiryo, Semaoen, Muso, Alimin, Tan Malaka, dan lain-lain.

Sarekat Islam adalah organisasi besar yang terorganisasi dengan baik, profesional, dan sistematis, transformasi dari Sarekat Dagang Islam setelah diambil alih oleh HOS Tjokroaminoto.

Beliau dicintai oleh kaum muslimin dimasanya karena beragama Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam disetiap langkah dan keputusan yang ia ambil.

Ia adalah seorang pribadi yang mengkritik feodalisme (KBBI: sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja). Sebagai salah satu pembuktian, ia lepas gelar raden terpaut didepan namanya, dan terbuka pada siapa yang ingin bergabung dengannya, walaupun dari masyarakat “kasta rendah”. Jika diingat-ingat, sosok seperti ini bukan hanya dimiliki HOS Tjokroaminoto, Raden Ajeng Kartini juga pernah mengkritisi sikap feodal dalam surat-suratnya yang disatukan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Keterbukan HOS Tjokroaminoto dalam menerima anggota dari kalangan manapun menjadi salah satu alasan mengapa Sarekat Islam cepat pertumbuhan jumlah kadernya.

Ia dijuluki “Ratu Adil” karena usaha-usahanya memperjuangkan hak rakyat Indonesia. Namanya dikait-kaitkan dengan Ramalan Jayabaya. Dengan kecakapannya dalam berorganisasi dan empatinya yang tinggi terhadap penderitaan rakyat kecil (yang ia dapatkan ketika menjadi buruh), ia tampil membela rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Rakyat Jawa yang memegang budaya kejawen semakin jatuh hati pada beliau karena kepeduliannya kepada kesengsaraan bangsa. Jadilah ia Sang Ratu Adil, dieluk-elukkan, dirindu, dicinta, bahkan hampir setingkat kultus. Ketika Tjokro mulai risih, ia meminta agar rakyat tidak terlalu berlebihan cintanya kepada beliau. Apa yang terjadi? Rakyat Indonesia, khususnya penganut kejawen, semakin tergila-gila.

Ia dijuluki pula Raja Tanpa Mahkota oleh Belanda karena kemampuannya mempengaruhi rakyat. Ia tidak memiliki jabatan di pemerintahan Hindia Belanda, tapi kemampuannya berorganisasi cukup kuat mempengaruhi rakyat Indonesia pada saat itu. Ia juga melakukan pengkaderan terhadap murid-muridnya, walaupun nanti masing-masing dari muridnya memiliki pandangan sendiri dalam hal politik. Sarekat Islam mudah dan cepat berkembang karena mengikuti alur permainan yang ditetapkan oleh Belanda.

HOS Tjokroaminoto memainkan tiga hal dalam berorganisasi, yakni mengorganisasi massa dengan rapat umum, menyihir rakyat dengan orasi, dan meluaskan resonansi opini maupun pengaruhnya melalui media massa. Beliau lihai, pikirannya cemerlang, memanfaatkan celah-celah peraturan yang dibuat oleh Belanda untuk memuluskan perjalanannya mengangkat martabat bangsa Indonesia dari status “budak”, seperempat manusia, hingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam salah satu pidatonya ia berkata:


“Tidaklah wajar melihat bangsa Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya.”


Ada satu hal yang membuat saya tersenyum, yakni cikal bakal Sarekat Islam. Siapa sangka Sarekat Islam ini ternyata lahir dari sekumpulan orang yang bertugas untuk ronda tiap malamnya, yakni Resko Roemekso, tugasnya adalah menjaga sebuah pabrik pembuatan batik agar tidak hilang di curi di jemuran.

Perlahan organisasi ini mulai membesar hingga menjadi salah satu organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya kemerdekaan Indonesia. Banyak hal-hal yang kelihatannya kecil, tapi membawa dampak yang sangat besar di kemudian hari, seperti Rekso Roemekso yang tugasnya hanya menjaga jemuran berubah menjadi Sarekat Islam yang menjaga dan memperjuangkan harga diri bangsa.

Menurut saya, HOS Tjokroaminoto bukanlah seorang ulama, melainkan cendekiawan. Ilmu agama diperolehnya dari buku-buku Belanda dan hampir semua ilmu agama beliau didapatkan secara otodidak. Oleh karena itu, ketika beliau menghadiri sebuah pertemuan di Arab Saudi, beliau tidak dianggap sebagai ulama.  Pemahaman beliau adalah Islam Sosialis. Beliau adalah pribadi yang sengmengunjungi ulama daerah sekitar untuk berdiskusi. Ini salah satu poin kelebihan beliau; senang mengunjungi orang yang berilmu, seperti kunjungan beliau ke rumah Kiai Abdullah Anshor di Wonosobo, Jawa Tengah.

Usaha beliau untuk memperjuangankan kemerdekaan bangsa bukan berarti tanpa masalah. Politik adalah arena yang sangat kondusif untuk saling menjatuhkan demi sebuah kekuasaan. Tipu muslihat menjadi sah-sah saja. Ketika Sarekat Islam mulai berkembang pesat, perselisihan paham mulai terjadi, secara khusus dengan Semaoen. Namun perlahan tapi pasti, Tjokroaminoto mampu memimpin kembali. Masalah kembali muncul ketika hadirnya Sarekat Islam Merah yang haluannya ke komunis, tapi kembali bisa di redam oleh beliau.

Penggerak dan pemberi corak sejarah Indonesia adalah murid-murid beliau. Setelah melewati perenungan dalam tentang arah politik masing-masing, murid-murid HOS Tjokroaminoto saling berbeda pandangan, hingga Anhar Gonggong mengatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah tragedi sejarah.

Semoga Allah merahmati beliau.

Jakarta Selatan, 30 Agustus 2016



~Alza Maligana

Senin, 29 Agustus 2016

Surat ala Nabi Sulaiman 'Alaihissalaam

Agustus 29, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Di suatu sore tahun lalu, aura berubah menjadi gugup ketika direktur meminta saya menjadi host di program Manajemen Syariah di salah satu stasiun televisi Islam. Tidak tanggung-tanggung, pematerinya adalah salah satu akademisi idola saya, yakni Ustadz Hendri Tanjung, Ph.D -semoga Allah menjaganya-. Beliau adalah dosen di Universitas Ibnu Khaldun Bogor.



Pembahasan yang diangkat saat itu adalah tentang bagaimana manajemen yang dimainkan oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam dalam mengatur sebuah kerajaan adidaya yang dipimpinnya. Pembahasan semakin menarik ketika beliau menjelaskan tentang surat yang dibawa burung Hud-hud ke kerajaan Ratu Bilqis.

Di tulisan kali ini saya sarikan saja poin-poin yang Ust. Hendri Tanjung sampaikan. Saya lebih fokus mengomentari sisi administrasinya, bukan sisi syariatnya.

***

Menurut KBBI, surat adalah kertas dan sebagainya yang bertulis (berbagai-bagai isi, maksudnya). Adapun struktur surat adalah sebagai berikut:
  1. Kepala surat;
  2. Tempat dan tanggal surat;
  3. Nomor surat;
  4. Lampiran;
  5. Hal;
  6. Alamat dalam;
  7. Salam pembuka;
  8. Isi surat;
  9. Salam penutup;
  10. Nama jelas pengirim dan tanda tangan;
  11. Tembusan.
Secara umum, demikianlah struktur surat yang digunakan pada saat ini. Setiap organisasi memiliki aturan persuratan tersendiri, namun tetap mengikuti kaidah-kaidah umum.

Lalu bagaimana struktur surat ala Nabi Sulaiman?

Ustadz Hendri Tanjung menyebutkan firman Allah yang menceritakan tentang Nabi Sulaiman dalam surah An-Naml ayat 29-31:

“Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.”

“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

“‘Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Jika dilihat secara tekstual, struktur surat Nabi Sulaiman terdiri dari; pengirim, salam pembuka, dan isi.

Saya tidak mengetahui bagaimana susunannya secara persis. Seingat saya, Ust. Hendri Tanjung tidak memberikan penjelasan rinci seperti apa susunannya karena memang di sesi itu surat atau persuratan bukanlah inti pembahasan. Hal ini tetap saya angkat pada tulisan kali ini karena sedari dulu selalu menggelitik pikiran.

Hipotesis apa yang bisa diambil?

Hal ini menunjukkan bahwa surat sebagai alat komunikasi tertulis telah lama ada dan tua usianya, kemudian mengalami modifikasi sedemikian rupa mengikuti perkembangan peradaban manusia.

Surat yang dibuat oleh Nabi Sulaiman sangat singkat padat dan jelas, memenuhi syarat dasar sebuah surat, yakni efektivitas dan efesiensi. Peter F. Drucker mengatakan bahwa efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things), sedangkan efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right).

Mengapa efektivitas dan efesiensi penggunaan kalimat dalam persuratan sangat diperlukan?
Alasannya adalah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi tertulis, dan ukuran kertas yang tidak dapat memuat seluruh pesan yang ingin disampaikan oleh si pengirim. Oleh karena itu, isi pesan sedapat mungkin disampaikan secara to the point atau ringkas tanpa mengubah inti penyampaian.

Lalu, kenapa persuratan masa kini semakin banyak bagiannya?
Hal tersebut mungkin saja terjadi karena berubah seiring perkembangan peradaban manusia. Inilah ciri ilmu sosial yang terus mengikuti pola perkembangan manusia yang sangat beragam motif, tindakan, budaya, dan variabel-variabel lain yang melekat padanya. Persuratan adalah bagian dari ilmu administrasi, dan ilmu administrasi lahir adalah ilmu sosial dan politik, dan prosesnya dapat dilihat dalam manajemen.

Apa hal ini menjadi polemik dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim?
Hal ini tak perlu dipermasalahkan karena ini adalah perkara muamalah, sebagaimana yang dipahami bahwa perkara muamalah hukumnya mubah atau boleh, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.


Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan:

“Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “Hukum asal adat adalah boleh, tidak kita katakan wajib, tidak pula haram. Hukum boleh bisa dipalingkan ke hukum lainnya jika (1) ada dalil yang memerintah, (2) ada dalil yang melarang.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyyah, hal. 88).”

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

“Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17).


Wallahu a’lam.

Jakarta, 29 Agustus 2016



~Alza Maligana


-----------------

Referensi:
  1. www.quran.com
  2. Ahmad Fathoni. 2014. Bagian-bagian Surat; Penjelasan dan Contoh. Tersedia: http://www.zonasiswa.com/2014/01/bagian-bagian-surat-penjelasan-contoh.html.
  3. Eko Trisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah. 2012. Pengantar Manajemen. Jakarta: Prenada Media Kencana.
  4. Faried Ali. 2011. Teori dan Konsep Administrasi. Jakarta: Rajawali Press.
  5. http://kbbi.web.id
  6. https://rumaysho.com/8197-kaedah-fikih-16-hukum-adat-kebiasaan-manusia-asalnya-boleh.html
  7. Salam Fadillah Alzah. 2014. Pengelolaan Surat Dinas di Bidang Administrasi dan Keuangan Kantor Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Selatan dan Barat. Skripsi pada Jurusan Administrasi Niaga PNUP. Makassar: Tidak diterbitkan.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Benteng Wolio; Dedikasi Sultan La Buke & Kedermawanan Wa Ode Wau

Agustus 27, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , , , , 10 comments
Malam kemarin saya kembali mengingat-ingat kampung halaman, salah satu kesultanan yang kokoh di tanah Sulawesi, namanya disebut dalam Kitab Negara Kertagama di Pupuh 78 dengan nama Butun.

Foto yang saya upload ini hanya sebagian kecil dari sisi Benteng Wolio yang dinobatkan sebagai Benteng Terluas di Dunia, tercatat di Guinness World Record. Ingatan kembali menyeruak, memikirkan leluhur-leluhur cerdas, konsisten, bijaksana, dermawan, berdedikasi tinggi, dan sifat-sifat luhur lainnya yang membaur bersama barisan batu-batu di dataran tinggi Baubau ini. Nilai-nilai luhur leluhur memang tak tampak di deretan batu itu, tapi auranya terasa membakar hingga sekarang. Apa pemuda-pemudi Buton masa kini banyak yang tahu?

Benteng ini adalah wujud dari mimpi untuk mempertahankan harta, diri, negeri, hukum, dan agama. Semua itu dibangun dengan kecerdasan, dedikasi, dan konsistensi Sultan Ghafurul Wadud La Buke, serta dibalut dengan kedermawanan seorang wanita bangsawan kaya raya, Wa Ode Wau.

***

Sultan La Buke adalah seorang yang cerdas, tulus, dan penuh dedikasi, serta memiliki visi yang jauh ke depan. Beliaulah yang bersikeras agar pembangunan benteng gagah di atas dataran tinggi itu tetap dilaksanakan hingga sempurna.

Setiap usaha yang didampingi niat tulus ikhlas kemudian demi rakyat akan tetap berkendala. Itu sudah hukum alam. Dalam masa pemerintahannya yang berusaha menyelesaikan pembangunan benteng, rakyat berkumpul ingin mengkudeta, meminta ia agar segera turun karena dianggap hanya menyusahkan rakyat dengan pembuatan mega proyek tersebut. Tapi ia tetap pada pendiriannya, benteng harus selesai. Untuk meyakinkan, ikrar ia ucapkan dihadapan rakyat dan pemerintahan bahwa ia akan turun tahta jika benteng telah rampung.

Pembangunan pun dilanjutkan. Harta secara royal ia dermakan, tenaga dan pikiran rela ia tumpahkan. Ia bukan lintah penghisap darah rakyat seperti sebagian pemimpin kacung masa kini. Maka ketika benteng telah selesai, barulah rakyat melihat apa yang sultan cita-citakan, barulah rakyat mengerti apa yang sultan pahami, seakan ingin mencatat dengan rapih di hati rakyat, “Ketahuilah rakyatku, ini untuk kita bersama, hingga anak cucu kita.”

Tabir penyingkap pikiran rakyat telah terbuka dan ikrar telah terucap, Sultan Ghafurul Wadud La Buke turun tahta karena pembangunan telah khatam. Ia memilih melebur bersama rakyat, tak harap puja-puji dengan beragam jenis sumpah. Biarlah Allah yang mengupah. Toh, ini usaha bersama. Mudah-mudahan benteng ini jadi saksi bagaimana ia ingin melindungi agama, hukum, negeri, jiwa dan darah, serta harta seluruh rakyatnya.

*** 

Dibalik proyek itu ada pula seorang wanita yang tangguh, Wa Ode Wau namanya.

Wa Ode Wau adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat dermawan, pedagang yang asetnya menyebar dari Johor sampai Maluku, menjadi pesaing berat VOC di zamannya. Ketika wafat, ia meninggalkan kekayaan tidak kurang dari 180 milyar gulden atau sekitar 60 milyar dolar yang diamankan anak angkatnya, La Ode Sribidayan, Raja Sorawolio.

Hartanya yang melimpah ruah dalam wujud emas dan perak hingga berlian tanpa ragu ia berikan demi kepentingan rakyat Buton, tanpa tendensi pribadi, tanpa keinginan merebut tahta. Ia bukan benalu ditubuh rakyat, yang memberi dengan rasa pamrih, seperti sebagian pemimpin cacat moral yang menyeruput darah rakyat karena merasa paling berjasa.

Kerelaan Wa Ode Wau terbukti ketika Sara (Pemerintah) Kesultanan Buton ingin membalas budi, ia membalas dengan tutur lembut lagi dalam maknanya:

“Aku tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara (Pemerintah) Kerajaan atas pengorbanan harta bendaku terhadap pembangunan Benteng Wolio, tetapi semata-mata untuk kepentingan negeriku sendiri, serta untuk kehormatan kaumku dan anak cucuku dikemudian hari. Semoga mereka ada yang mengikuti jejakku ini.”

Inilah Benteng Wolio, yang dibangun dari kecerdasan, konsistensi, dan kedermawanan, serta jutaan nilai luhur lainnya. Nilai-nilai luhur lainnya juga akan tetap tertambat bersama tumpukan-tumpukan batu benteng ini hingga waktu yang Allah tentukan akhirnya.

Inilah benteng yang menjadi bentuk implementasi Falsafah Kesultanan Buton:

Yinda yindamo arata somanamo karo
Yinda yindamo karo somanamo lipu
Yinda yindamo lipu somanamo sara
Yinda yindamo sara somanamo agama

Korbankan harta demi keselamatan diri
Korbankan diri demi keselamatan negara
Korbankan negara demi keselamatan pemerintah
Korbankan pemerintah demi keselamatan agama


***

Semoga masyarakat kini mau belajar. Mudah-mudahan pemimpin-pemimpin masa kini mau memahami. Falsafah Buton adalah karakter kita sebagai masyarakat Buton, cukup sudah budaya luar menggerogoti. Kita sudah cukup kebablasan.

Semoga muda-mudi mau mempelajari, mencari, hingga menjaga. Inilah sejarah tanah kita. Jika bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Berharap pada masyarakat di kota besar? Jangan harap. Mendengar kata Buton saja mereka bingung, “Dimana itu?”.

Oh, rasa-rasanya agama, administrasi, budaya, sejarah, dan sastra selalu bersolek manis dengan romantisme yang menggoda dimataku. Nakal ia mencubit nalar dengan sedikit berbisik, “Kemarilah, peluk aku dalam-dalam lalu rebahkan kepalamu padaku. Apa kamu merasakannya? Pelan hangatku merambat padamu. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tak akan tahu jika tak ingin mendekat.”

Hah, sayang sekali, sejarah daerahku sedikit sulit ditemui literaturnya.

Semoga Allah merahmati Sultan Ghafurul Wadud La Buke dan Wa Ode Wau rahimahumullah. Terima kasih atas teladannya. Terima kasih atas perjuangannya.


Jakarta Selatan, 27 Agustus 2016


~Alza Maligana


---------------------
Sumber:
  1. http://blog.ub.ac.id/jatmikoekotbp/files/2013/04/Kitab-Negara-Kertagama.pdf
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Keraton_Buton
  3. Sudirma Duhari. Wa Ode Wau Pedagang Kaya Raya Dari Buton. Tersedia: www.mysultra.com/wa-ode-wau-pedagang-kaya-raya-dari-buton.
  4. Yusran Darmawan. 2015. Kisah Raja Bugis Di Pulau Buton. Tersedia: http://www.timur-angin.com/2015/11/kisah-raja-bugis-di-pulau-buton.html
  5. Yusran Darmawan. BAB II ORANG BUTON DAN IMAJINASI SEJARAH. [Online]. Tersedia: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119247-T%2025230-Ingatan%20yang-Tinjauan%20literatur.pdf.
  6. Wira Nugraha. 2011. Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Negarakertagama. Tersedia: https://historynote.wordpress.com/2011/04/28/negarakertagama/

Senin, 15 Agustus 2016

Cinta di Setumpuk Semprong

Agustus 15, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Beberapa hari yang lalu ketika dalam perjalanan dari masjid menuju kantor, malam masih sudi bertandang & ibu kota masih beringas seperti sebelumnya. Jalan raya masih rela diinjak sekumpulan Kuda Besi & kawan-kawannya. Terlalu ramai untuk diseberangi. Lebih baik lewat JPO (Jembatan Penyebrangan Orang) daripada diseruduk berantai Si Kuda Besi. ‪#‎TaatAturan‬ ‪#‎Kadang‬

Di JPO tampak seorang bapak & barang dagangannya. Menyapa malu & pelan pada setiap orang yang lewat, “Semprong nya mas, mba.” Saya sendiri penasaran dengan makanan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

“Permisi pak, ini namanya apa ya?”

“Ini semprong mas.” jawab bapak itu dengan senyum merekah. Wajahnya tampak lelah.

“Sebungkus berapa?”

“Sepuluh ribu.”

“Sebungkus ya pak.”

“Iya mas. Alhamdulillah.” Jawabnya.


Kata alhamdulillah yang ia lafalkan begitu menyentuh. Kalian pasti tahu, ungkapan dari hati akan sampai pula ke hati. Jika hanya dari lidah, melewati tenggorokan pun takkan sudi. Ia terlihat haru dan bahagia. Hati mengoceh liar, “Apa laku hari ini hanya sedikit? Sampai segitu bahagia dan harunya bapak ini.”

Di mata dan raut wajahnya jelas terhampar siluet tanggung jawab & pengorbanan, dua di antara jutaan hal yang memberatkan punggung, namun menunjukkan eksistensinya sebagai seorang ayah.

Di semprong ini, ada cinta yang begitu besar dan menjulang sampai keubun-ubun. Cinta ayah untuk istri & anaknya yang menunggu di rumah dengan bait doa dan harapan yang bertumpuk untuk dirapalkan.

Di semprong ini, ada pengakuan bahwa ia memang layak disebut seorang ayah. Mengemis bukan jalan juangnya. Ia terlalu tangguh untuk meminta-minta. Terlalu gagah untuk menjadi penjahat.

Kepala jauh menerawang, apa saya juga bisa bertanggung jawab sebagai seorang bapak nantinya? Tidak tahu.


Jakarta Selatan, 15 Agustus 2016


~Alza Maligana

Selasa, 09 Agustus 2016

Pemasaran Strategik yang Bikin Baper

Agustus 09, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas pernikahan saudara-fillah kami, Akh Adipati Jayadi dan Ukh Khaerunnisa Hasyim. Barokallahu laka, wa baaroka 'alaika wa jama'a baynakumaa fiy khair. Semoga Allah memberkahi kalian, semoga berkah atas kalian, semoga kalian dikumpulkan kedalam kebaikan.

Saya turut sangat berbahagia dengan pernikahan saudara kami, dan sukses baper beberapa hari ini. Sedih juga karena tidak bisa hadir dipernikahannya. Baper sukses bertambah ketika malamnya dikirimi pesan bbm yang isinya hanya "ehm". Ayolah, tidak ada deskripsi lebih lanjut apa maksudnya?

Supaya tidak terbawa perasaan kalah dan mengusir pikiran dan pertanyaan "Tuhan, saya kapan?" yang berhamburan di kepala, buku menjadi pelarian terbaik. Buku adalah benda mati terbaik yang kamu miliki walau sering diabaikan. Buku Pemasaran Strategik sepertinya cukup membuat pikiran lepas dari keter-baper-an.

Tapi semuanya berubah ketika masuk pada pembahasan Hukum Kekekalan Marketing di subbab Hukum Kepemimpinan yang isinya:

"Lebih baik menjadi yang pertama daripada menjadi yang lebih baik."

Alam bawah sadar bukan menuntun saya untuk berpikir bagaimana sebuah produk bisa mencuri perhatian konsumen pasar dengan menjadi yang pertama, tapi menuntun saya berpikir "kenapa bukan saya yang pertama? Untuk apa menjadi lebih baik jika bukan yang pertama?" Point of view benar-benar menjadi inti dari tulisan. #HentikanKejabeanMuAnakMuda #AnakMudaAntiJabe

Oke, mari kita lupakan. Semakin menjadi-jadi ketika masuk Hukum Ingatan atau Pikiran:

"Lebih baik menjadi yang pertama dalam ingatan, daripada yang pertama dalam gerai penjualan."

Silakan tafsirkan sendiri.

Entah kenapa, buku Pemasaran Strategik pun bisa membuat saya bawa perasaan. Kata teman saya, "Katanya, ada dua jenis orang yang tidak bisa dinasehati; seseorang yang lapar, dan yang sedang jatuh hati."

Jakarta Selatan, 9 Agustus 2016


~Alza Maligana

Sabtu, 06 Agustus 2016

Antara Kesultanan Buton, Bone, dan Gowa-Tallo (3)

Agustus 06, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Kenapa Arung Palakka menyerang Gowa? Apakah Arung Palakka La Tenritatta memang seorang pengkhianat?

Jika memang berkhianat, La Tenritatta berkhianat kepada siapa?

Dari literatur dan cerita turun temurun, Arung Palakka telah lelah hatinya melihat perbudakan yang dilakukan Kerajaan Gowa terhadap Soppeng dan Bone. Penentangan ini telah ada sejak beberapa generasi sebelumnya. Hanya saja, Bone dan Soppeng tidak memiliki kekuatan yang kuat untuk menentang Gowa. Tak hanya rakyat biasa, bangsawan pun menjadi budak yang dipekerjakan untuk membuat parit dan benteng.

Arung Palakka pun mencari koalisi, diyakinkannya Kerajaan Soppeng, tanah kelahiran ayahandanya, dan daerah sekitarnya dengan visi yang sama, "Selamatkan Bangsawan, Hentikan Perbudakan !"

Angin segar pun bersambut, membelai pelan panasnya kepala kompeni yang sudah pusing setengah hidup ingin menjatuhkan Gowa. Kompeni sudah melancarkan berbagai jenis cara, termasuk mempermainkan harga pasar dan mengendalikan perniagaan dari Maluku. Hasilnya sama, NIHIL ! Gowa tak kunjung melemah. Mengapa? Somba Opu menjadi lokasi perniagaan yang benar-benar mempengaruhi nusantara dan sekitarnya, ditambah lagi Kerajaan Gowa menggunakan prinsip pasar bebas di Somba Opu.

Bergabunglah Arung Palakka bersama kompeni. Penyerangan berlangsung sengit sampai akhirnya Gowa harus mengakui kekalahannya dan lahirlah Perjanjian Bongaya. Kemenangan Arung Palakka selanjutnya mempengaruhi peta politik kerajaan lain semisal Maluku, Ternate, Buton, Trunojoyo, Bima, hingga ke Minangkabau.

~Alza Maligana
__________

Sumber:
1) www.timur-angin.com
2) Silsilah Kekerabatan Raja-raja Sulawesi Selatan dan Barat

Sumber foto: www.adindut.com

Ada yang Datang, Ada yang Pergi

Agustus 06, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Beberapa teman sering mengeluh karena harus berpisah dengan keluarga atau sahabatnya karena sesuatu dan lain hal, misalnya karena tuntutan kerja diluar daerah atau karena kesibukan masing-masing. “Aku rindu sama bapak, ibu, nenek, kucing dirumah, kecoak yang biasa berkeliaran didapur, semuanya!”, “Udah gak ada si Fulan, jadi sepi”, atau “Semua udah gak seperti dulu, udah beda, gak ada yang bisa seperti dia.” Tidak salah, hanya rindu berlebihan itu terlalu menyakitkan.

Saya bukan Mario Teguh, bahkan Mario Teguh tidak mengenal saya, tapi sebagai teman saya akan merespon positif dan memberikan saran yang baik (walau kadang sedikit mainstream). Jawaban yang sering saya ulang-ulang adalah:

“Tenang saja, kalau ada yang pergi, berarti akan ada yang datang. InsyaAllah. Keluarga atau sahabat-sahabat kita yang lalu berpisah dengan alasan yang baik, suatu saat Allah akan gantikan dengan yang semisal atau lebih baik, asal kita yang mau membuka diri dan ingin menjadi lebih baik juga.”


Kadang kita terlalu terpaku di masa lalu, kemudian takut melangkah. Kaki begitu beratnya melangkah, apalagi hati. Percayalah, ketika kaki melangkah dan hati rela meninggalkan keluarga atau sahabat di tanah kelahiran demi kebaikan, maka Allah akan berikan orang-orang yang semisal mereka kasih sayang dan perhatiannya.

Foto ini ketika wisuda Tahsinul Qiroah Angkatan 2010. Mereka yang ada di foto adalah salah satu pemberian terbaik yang Allah kasih. Ketika saya harus meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat di Baubau, Allah kirim mereka satu per satu untuk mendampingi. Apa mereka sempurna? Tidak, mereka tidak sempurna, tapi kita terikat di wadah dan tujuan yang sama. Ada kekurangan dan kelebihan. Ada yang tawadhu tapi mahal senyum, semangat belajar tapi kaku, semangat membantu dakwah tapi malas belajar, sangat beragam jenisnya, sampai mengaku-ngaku tampan pun ada. Jangan tanya saya siapa orangnya, mungkin nanti akan muncul sendiri di kolom komentar.

Mereka adalah “keluarga” tapi bukan keluarga. Keluarga yang terikat karena millah (agama), bukan karena darah. Yang ada di foto hanya beberapa, masih ada sosok-sosok lain yang sangat membantu. Semoga Allah merahmati dan menjaga mereka.

_________


Dua hari lagi akhuna Adipati, salah satu sahabat saya (yang masih rela dijadikan rival) akan menikah. Tolong jangan tanya saya kapan. Mudah-mudahan urusannya lancar hingga hari H. Katanya harus fokus dan tenang, urusan kantor lepas dulu, nanti ijab kabulnya yang disebut malah kwh meter, bukan nama mempelai wanita. Apalagi sampai nyebut “SAH!” padahal belum ngulangin kata-kata wali nikah.


Barokallahu fiykum.

Jakarta Selatan, 6 Agustus 2016


~AiM

Selasa, 02 Agustus 2016

Antara Kesultanan Buton, Bone, dan Gowa-Tallo (2)

Agustus 02, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , No comments
Ini tentang harga diri & tanggung jawabnya sebagai pemimpin rakyatnya lepas dari penindasan. Berangkatlah La Tenritatta ke tanah leluhurnya, bersama para pembesar yg bergelar Andi Bau & pengikutnya, mencari suaka utk tetap bertahan hidup di Kesultanan Buton. Konon, salah satu versi cerita asal muasal kata Baubau diambil dari kata Andi Bau, gelar bangsawan Bone yg mendiami wilayah luar Benteng Wolio.

Arung Palakka kagum melihat benteng yang brdiri megah, lebih megah & kokoh dari Fort Rotterdam Kerajaan Gowa.

Pertahanan yg terdiri dr “Matana Sorumba”, “Batara”, Benteng Wolio, hingga masjid cukup kuat untuk membendung berbagai jenis serangan dari luar. Berdiamlah Sang Raja Bone di dalam wilayah kesultanan hingga 3 tahun lamanya.

Kenapa Kesultanan Buton harus melindungi Arung Palakka?

Yusran Darmawan bertutur;

“Bagi masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah org lain. Silsilah yang disimpan banyak warga setempat menyebutkan dirinya adalah seorang saudara yg sedekat urat leher. Disini, ia lebih dikenal sbg La Tondu, keturunan langsung La Kabaura yg merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga. Dr garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara i Bone, yg kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka.”

Beliau menuturkan, diambil dari budayawan lokal La Ode Syarif Makmun bahwa La Kabaura atau Andi Bauru datang ke Bone tahun 1582 sebagai duta utusan Sultan Buton Murhum Kaimuddin yang diminta oleh Raja Bone La Tendari Bongkangnge. Dalam kunjungan itu, La Kabaura menikah dengan Putri Raja Bone La Tendari Bongkangnge yang bernama Wetendari Siang dan dari pernikahan tersebut lahirlah La Pottobune’ Arung Tana Tengnga yang menjadi Raja Soppeng. Selanjutnya La Pottobune’ menikah dengan Putri Sultan Adam Matinro’e Bantaeng yang bernama Wetenri Sui (Suri), dan lahirlah Arung Palakka."

Memberi suaka bukan berarti tanpa resiko. Ketika Kerajaan Gowa tahu Arung Palakka berada di Buton, dikirimlah Bontomarannu beserta ribuan pasukan untuk menyerang. Pecahlah peperangan. Sayangnya, Gowa yg sedang dalam kondisi lemah tak mampu memenangkan peperangan.

~Alza Maligana

------------
Sumber:
1) www.timur-angin.com
2) "Silsilah Kekerabatan Raja-raja Sulawesi Selatan dan Barat" oleh Rasyid Al Ab

Merantau

Agustus 02, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Petang di Jatipadang ini selalu sama; macet dan bising. Katanya, "Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri." Lalu kenapa menetap hingga lebih setahun?

Pertanyaan dasarnya; Kenapa harus keluar daerah? Sederhana; karena pikiran akan lebih terbuka, walaupun ego masa muda selalu membentak. Culture-shock pun menjadi bumbu menarik disetiap perjalanan. Sebenarnya jika bisa, ingin hati membawa badan merantau lebih jauh dari ini.

Salah seorang ulama tabi'in ditanya oleh muridnya, "Kenapa kamu bisa mendapatkan ilmu dan pemahaman yang kuat seperti sekarang?", beliau rahimahullah menjawab, "Karena aku (merantau) keluar dari daerahku."

Ibunda Imam Syafi'i harus rela meninggalkan Gaza menuju Madinah, mengantarkan sang anak belajar pada muara ilmu, Sang Imam Hadits Madinah, Imam Malik ibn Anas rahimahullah.

Ketika besar, Imam Syafii kembali merantau diberbagai daerah, seperti Baghdad dan Mesir.

Di Baghdad ia bersama Imam Ahmad, di Mesir ia bertemu murid-murid Imam Laits ibn Saad yg buku-bukunya memberi pengaruh besar pada pemahaman Imam Syafii yang mampu menengahi Ahlu Ra'y murid-murid Imam Abu Hanifah dan Ahlu Hadits murid-murid Imam Malik ibn Anas -rahimahumullah- yang terus menerus bertikai.


Bagaimana jika tak punya daya keluar daerah?

Manfaatkan sumber daya sekitar semaksimal mungkin. Imam Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang tidak keluar dari Andalusia. Hidupnya berputar-putar didalam wilayah Andalusia karena faktor politik yang tak menentu.

Lalu, merantau atau tidak? Dua-duanya pilihan. Apa artinya merantau jika tak menjadi lebih baik? Rugi! Apa artinya menetap jika tak ada perubahan? Pailit!

Masing-masing punya tantangan. Tak hidup di tanah kelahiran tak selalu menyusahkan, hidup di tempat awal membuka mata pun tak selalu mengasyikkan. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan.

Semuanya kembali kepada diri masing-masing; ingin berubah atau menjadi ikan mati yang mengikuti arus.


Jakarta Selatan, 2 Agustus 2016


~Alza Maligana