"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Sabtu, 31 Desember 2016

Gara-gara Si Kancil

Desember 31, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , 2 comments
Semester satu telah selesai, semoga nilai aman-aman saja. Saya kembali mengingat materi-materi yang disampaikan oleh dosen, sembari menganalisis sederhana masalah-masalah politik dan administrasi publik yang ada di Indonesia.

Ketika sedang berpikir, saya melihat salah satu kartun yang sedang diputar di salah satu teve Islam. Kartun tersebut bercerita tentang singa kecil dan seekor rusa yang bersahabat. Entah tiba-tiba pikiran saya meloncat ke salah satu cerita fiksi andalan yang sering dikisahkan ketika kita masih kecil. Si Kancil ! Anak generasi tahun 90an insyaAllah tahu tentang Si Kancil.

Maaf pembahasannya kemana-mana, hehe. Saya ingin menceritakan apa yang disampaikan dosen saya, Prof. Roy V. Salomo, dalam salah satu sesi perkuliahan. Saat itu kelas sedang menyingung tentang aktor-aktor politik. Jadi, apa hubungannya Kancil dengan aktor politik?

Saat itu Prof. Roy bercerita, “Di negara-negara maju, seperti Finlandia, Jepang, Korea, sekolah dasar, kelas satu sampai tiga, lebih fokus bahas pendidikan moral. Beda dengan Indonesia, kelas satu sudah masuk materi (seperti matematika, bahasa, dan lain-lain).” Sekelas kita mengangguk.

Yang paling penting bagi seseorang yang berada dalam ranah politik adalah bukan hukum, tapi kode etik. Ini yang kurang dimiliki sebagian pejabat di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara seperti New Zealand, Korea, Jepang, yang memperhatikan kode etik saat berpolitik karena memang telah dibangun sejak lama dan sejak kecil. Kurang memperhatikan kode etik atau nilai moral dalam kehidupan akan membuat aktor politik selalu mencari celah-celah dalam hukum untuk melakukan kejahatan, baik itu kecil atau besar.

Beliau kembali melanjutkan, “Jadi, kenapa banyak politikus di Indonesia yang suka mencuri? saya curiga gara-gara Si Kancil. Kalian masih ingat nggak, dulu waktu kecil kita selalu diceritakan tentang si Kancil, mencuri itu hebat, luar biasa, menipu itu hebat. Jadi, kalau nggak mencuri atau nggak suka nipu ya nggak hebat, karena memang waktu kecil kita sering diceritain tentang itu kan?” Sekelas tertawa ketika Prof. Roy berkelakar seperti itu.

Jadi, apa memang gara-gara Si Kancil politikus kita jadi suka menipu dan mencuri? Tidak tahu. Haha. Simpulkan sendiri.


Jakarta, 31 Desember 2016



~Alza Maligana

Jumat, 30 Desember 2016

Learning Organization di Lembaga Dakwah Kampus

Desember 30, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , , 2 comments
Organisasi adalah sebuah wadah yang menyatukan berbagai individu untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Tanpa adanya tujuan yang jelas, organisasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik dan jelas. Lebih rinci SB Hari Lubis dan Martani Huseini menjelaskan bahwa organisasi adalah:

“Suatu kesatuan sosial dari sekelompok individu (orang), yang saling berinteraksi menurut suatu pola yang terstruktur dengan cara tertentu sehingga setiap anggota organisasi mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, dan sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu, dan juga mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga organisasi dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.”[1]

Bukan hanya tujuan yang ditekankan, bagaimana cara mengelola organisasi juga perlu diperhatikan.

***

Ada satu kelemahan beberapa LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di Makassar maupun di Baubau (tanah kelahiran saya) yang saya temui dan baru saya sadari sekarang. Apa itu? Lemah di Learning Organization. Wahyudi mengutip Senge[2] menjelaskan bahwa Learning Organization adalah organisasi yang tiada henti mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya. Untuk mencapai masa depan yang lebih baik, Learning Organization adalah suatu proses dimana organisasi berusaha mengolah pengetahuan yang ia miliki dari dalam maupun luar organisasi, untuk menjadi pengetahuan yang akan ia gunakan untuk terus berkembang.

Ibaratnya organisasi adalah “manusia”, ia butuh belajar agar dapat bertahan menghadapi persaingan atau masalah yang datang dari dalam maupun luar organisasi. InsyaAllah saya akan menjelaskan beberapa bagian saja dari Learning Organization yang dapat digunakan di lembaga dakwah kampus.

Sebelum membahas tentang Learning Organization, saya ingin membahas tentang pengetahuan. Pengetahuan itu apa? Saya mengutip apa yang dijelaskan oleh Nonaka dan Takeuchi[3] bahwa pengetahuan itu terbagi dua, yakni tacit knowledge dan explicit knowledge.

Pertama, tacit knowledge, yakni pengetahuan yang tidak didapat dijelaskan, sulit untuk diterjemahkan dalam kata-kata, tapi dapat ditunjukkan dalam bentuk praktek. Contoh, bagaimana anda menjelaskan cara menyeimbangkan sepeda ketika anda mengendarainya?

Kedua, explicit knowledge, yakni pengetahuan yang dapat dijelaskan melalui kata-kata, seperti teori, hukum-hukum, defenisi, atau hal lain yang telah jelas maksudnya dan diterangkan dalam sebuah kalimat.

***

Setiap individu dalam organisasi, baik itu anggota lama atau pun yang baru masuk, pasti memiliki pengalaman, kecerdasan, dan pemahaman yang berbeda-beda. Pengalaman dan pemahaman inilah yang turut memberi corak pengetahuan bagaimana mengelola organisasi. Ada yang memandang perlunya bersikap otoriter, ada yang cenderung luwes, ada yang pandai bernegosiasi, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki pengetahuan tersendiri yang ia bawa ke dalam organisasi, yang akan menjadi aset berharga untuk organisasi itu sendiri.

Tapi, sampai mana pimpinan organisasi menyadarinya? Banyak pimpinan organisasi tidak menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki anggota-anggotanya sebagai “sesuatu” yang perlu untuk dipelihara, dijaga, diarsipkan, diolah, hingga dibagikan kembali kepada anggota lainnya.

Untuk memudahkan (semoga, saya berharap demikian), saya mengambil contoh yang akan kembali saya gunakan dipenjelasan selanjutnya. Mari kita mengambil contoh fiktif La Makida selaku Koordinator Departemen Dakwah di LDK Al-Fatih di Politeknik Negeri Kendari.

La Makida adalah salah satu pengurus yang sangat lihai dalam negosiasi dan retorika. Suatu saat ia membuat sebuah kegiatan, tetapi birokrat kampus melarang. La Makida kemudian menghadap ke Asisten Direktur 3 untuk melakukan negosiasi. Hasilnya? Kegiatan diizinkan dan difasilitasi oleh kampus.

Anggota-anggota La Makida dari Departemen Dakwah bertanya-tanya, “Kok bisa kamu lihai bicara seperti itu? Kami malah pesimis kegiatan diizinkan Asdir 3”, La Makida menjawab, “Ah, gimana cara menjelaskannya ya?”. La Makida kemudian mencoba menjelaskan tapi sulit diungkapkan melalui kalimat, anggota-anggotanya pun sulit memahaminya. La Makida hanya bisa menjelaskan dengan praktek. Kemampuan La Makida dalam negosiasi dan retorika inilah disebut tacit knowledge.

Jadi, bagaimana caranya agar kemampuan La Makida ini dapat pula dipakai oleh anggota yang lain, bahkan hingga anggota penerus di periode selanjutnya? Perhatikan gambar dibawah:


(sumber: http://www.eit.edu.au/)

Pertama, dari tacit ke tacit. Apa yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan adalah praktek, observasi, diskusi, pertemuan, atau kegiatan lainnya yang mengharuskan si pemiliki pengetahuan menjelaskan dengan praktek, bukan sekedar tulisan.
Kita kembali mengambil contoh La Makida. Ketika pengurus LDK Al-Fatih yang lain ingin belajar tentang bagaimana cara bernegosiasi, maka dia harus menunjukkannya secara langsung bagaimana caranya. La Makida tidak dapat menjelaskannya keseluruhan dan anggota-anggotanya pun akan kesulitan untuk memahaminya jika tidak melihatnya secara langsung. Learning by doing! Kemampuan anggota yang lain memahami berbeda-beda, ada yang cepat menanggapi, ada pula yang lamban karena masing-masing memiliki metode sendiri dalam belajar.

Kedua, dari tacit ke explicit, yakni berusaha menuliskannya dalam bentuk kata-kata. Akan terasa berat pastinya, oleh karena itu dibuat dalam bentuk laporan.

La Makida berusaha menuliskan langkah-langkah bagaimana melakukan negosiasi yang baik dalam bentuk poin-poin atau penjelasan sederhana. Tulisan itu akan dipelajari oleh pimpinan organisasi atau bidang yang bersangkutan, dan perlahan-lahan disusun agar menjadi lebih terstruktur. Pemimpin organisasi juga perlu meminta La Makida agar mengajarkannya kepada anggota-anggota yang lain (dikolaborasikan dengan tacit to tacit).

Ketiga, dari explicit ke tacit, yakni dari pengetahuan yang tertuang dalam kalimat dan jelas maknanya menjadi pengetahuan yang ada didalam kepala, dipahami, akan tetapi sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Laporan-laporan La Makida telah dibuat, dan pimpinan organisasi telah berusaha mengolahnya menjadi sebuah modul atau buku sederhana tentang bagaimana negosiasi yang jitu yang dapat dilakukan mahasiswa dalam berorganisasi. Tentunya telah disesuaikan dengan budaya organisasi tersebut.

Ketika angggota lainnya membaca dan memahaminya, kemudian dapat mempraktekannya, disinilah terjadi proses explicit ke tacit. Anggota yang baru masuk atau anggota yang menjabat di periode ke depannya akan mempelajari buku panduan tersebut sehingga tacit knowledge yang dimiliki La Makida tidak hilang begitu saja.

Keempat, dari explicit ke explicit, yakni mengumpulkan semua informasi, mengoleksinya, menyimpannya, dan membagikannya kepada yang lain.

Ketika Koordinator Dakwah di LDK Al Fatih Poltek Kendari bukan lagi La Makida karena telah selesai masa jabatannya, jangan sampai organisasi harus memulai semua kembali dari awal, sementara solusi atas masalah tertentu sebenarnya telah ada dan manjur, akan tetapi menguap begitu saja karena anggota yang mampu mengatasi masalah tersebut telah keluar atau meninggalkan organisasi tersebut karena masa kuliahnya telah selesai, wafat, dan lain-lain.

Begitu banyak tacit knowledge yang dimiliki anggota organisasi tapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya apa? Ketika anggota yang memiliki potensi dan pengetahuan tersebut hilang, maka hilang pula pengetahuan yang ia miliki. Selanjutnya, organisasi seperti berjalan ditempat, mengulangi kesalahan yang sama disetiap periodenya. Rugi? Anda dapat menjawabnya sendiri.

***

Ilustrasi
Sebaiknya lembaga dakwah kampus mulai memperhatikan pengetahuan sebagai sebuah aset. Catat, himpun, bagikan, dan jelaskan ke anggota-anggota baru dalam bentuk rapat, pelatihan-pelatihan, diskusi, atau dalam bentuk lainnya agar terjadi transfer informasi antar anggota. 

Sangat keliru asumsi bahwa apa yang diterapkan di LDK yang besar akan sukses pula diterapkan di LDK yang sedang dalam masa pertumbuhan. Learning Organization diperlukan agar pengetahuan-pengetahuan tersebut disesuaikan dengan budaya dan kondisi organisasi yang bersangkutan. Mengadaptasi, bukan mengadopsi. Menyesuaikan dengan kondisi organisasi, jangan menjiplak mentah-mentah.[4]

Bahkan kalau perlu, hal-hal yang teknis mengenai bagaimana mengatur jalannya sebuah kegiatan -mulai dari persiapan hingga evaluasi- perlu dibuatkan. Contoh sederhana adalah standar operasional prosedur atau buku panduan.

Beberapa teman-teman dari LDK tidak punya acuan dalam membuat sebuah kegiatan. Akibatnya, harus menjelaskan lagi dari awal. Ketika masuk anggota baru di periode yang baru pula, harus dimulai lagi dari awal. Padahal, jika informasi sederhana seperti tata cara membuat kegiatan sebagai hasil dari Learning Organization dibuat, maka itu menjadi batu loncatan selanjutnya agar organisasi tersebut dapat melangkah ke tahap selanjutnya, tidak berjalan ditempat; ketika masuk periode baru, memulai lagi dari awal, masuk periode baru, memulai lagi dari awal. Menghabiskan waktu dan lamban dalam perubahan.

SOP atau buku panduan yang bersifat umum ataupun khusus tersebut akan terus direvisi jika dibutuhkan karena mengikuti kondisi lingkungan sekitar yang dinamis dan tidak berhenti berubah. Organisasi adalah sebuah wadah yang akan terus terpengaruh oleh lingkungan. SOP hanyalah contoh sederhana, kita dapat menggunakan prinsip Learning Organization dalam bentuk lain dalam ranah pengambilan keputusan.

Semoga lembaga dakwah kampus yang berhaluan ahlus sunnah di seluruh Indonesia dapat berkembang dan bersinergi dengan baik.


Jakarta Selatan, 30 Desember 2016




~Alza Maligana


_______________________


[1] SB Hari Lubis dan Martani Huseini. 2009. Pengantar Teori Organisasi, Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
[2] Andreo Wahyudi. 2011. Dinamika Knowing Organization. Jakarta: Yayasan Ragi Anak Bangsa.
[3] M. Syamsul Maarif dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Produksi. Jakarta: Grasindo.
[4] Ada fenomena aneh yang sering kita temui dalam berorganisasi, yakni ketika melihat suatu organisasi sukses dengan metode tertentu, maka organisasi yang lain akan mengikuti metode yagn sama. Padahal kondisi internal dan eksternal organisasi jelas berbeda.

Senin, 12 Desember 2016

Gak Usah Banyak Teori !

Desember 12, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , 2 comments
Di salah satu grup WhatsApp, salah seorang teman kami membagikan sebuah cerita tentang masalah yang dihadapi ummat Islam saat ini. Kemudian muncul satu komentar, “Intinya, mari kurangi berteori !”

Di beberapa kesempatan lain ketika berdiskusi, saya sering mencoba membangun opini dari teori yang dikeluarkan oleh para ahli yang telah disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Mengapa harus menyesuaikan kondisi dan lokasi? Teori tidak dapat berlaku di semua kondisi dan lokasi, karena itulah ia disebut teori. Jika berlaku disemua kondisi dan lokasi, maka ia menjadi Hukum atau Asas, misal Hukum Archimedes.

Yang perlu diketahui, teori tidak muncul begitu saja, ada banyak proses dan tahapan yang harus dilalui agar sebuah asumsi atau perkiraan yang dibangun dari sebuah fakta untuk menjadi teori. Dibawah ini kami sertakan bagan bagaimana teori itu terbentuk.



Apa itu teori? Sederhananya, teori adalah pengetahuan ilmiah yang berulang terjadi, kebenarannya telah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, pengujian atas kebenarannya telah dilakukan melalui metode keilmuan.

Contoh, seorang pimpinan perusahaan memiliki asumsi bahwa jika insentif karyawan ditambah, maka produktivitasnya juga bertambah. Menurutnya, manusia itu rasional, “Kamu bayar lebih, saya akan bekerja lebih dari biasanya.” Kemudian pimpinan melakukan trial error atau uji coba. Berkali-kali di coba secara ilmiah dan ternyata berhasil.

Inilah contoh bagaimana teori itu terbangun. Diawali oleh sebuah asumsi-asumsi, dilakukan uji coba berulang-ulang dan ilmiah, lalu asumsi yang dibangun terbukti benar, jadilah ia teori. Jika ternyata asumsi yang dibangun tidak terbukti, maka ia hanya menjadi pernyataan dan bukan teori. Jika anda membaca tentang teori organisasi, contoh yang kami kemukakan ini adalah Teori Organisasi Klasik oleh Taylor, Sang Bapak Manajemen.

Namun, teori adalah sesuatu yang tidak dapat berlaku di semua kondisi. Seperti contoh Teori Organisasi Klasik yang kami berikan diatas, teori tersebut terkadang tidak berlaku pada situasi tertentu. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja, bukan hanya uang. Sebagai koreksi atas teori Organisasi Klasik dari Frederick W. Taylor, muncul teori Human Relation dari Elton Mayo yang mengungkapkan bahwa hubungan antar manusia juga perlu diperhatikan dalam mengatur organisasi. Manusia satu dengan yang lainnya saling terhubung, uang bukanlah satu-satunya penggerak seseorang untuk meningkatkan kualitas kerjanya.

***

Sebagai penutup, hal yang kurang dipahami oleh sebagian orang bahwa ketika berpendapat atau menyelesaikan masalah kita butuh teori dasar untuk memperkuat opini kita. Kita butuh pondasi untuk menjelaskan asumsi kita agar tidak “tong kosong nyaring bunyinya”.

Teori tidak muncul begitu saja, ia butuh pembuktian yang panjang dan ilmiah. Oleh karena itu, berhentilah mengatakan, “Kamu terlalu banyak teori !” Teori telah dibuktikan kebenarannya, sementara asumsi-asumsi kita hanyalah opini-opini biasa yang terbatas dan belum tentu terbukti kebenarannya.

Lalu, bagaimana jika ternyata teori yang dibangun oleh ahli berseberangan dengan Quran dan Sunnah. Saya pribadi memilih Quran dan Sunnah, mengingat statement yang dikeluarkan oleh dr. Zakir Abdul Karim Naik dalam salah satu sesi ceramahnya,

“...bukan al Quran yang mengikuti ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan lah yang mengikuti al Quran…” 

Ada banyak teori-teori yang dikeluarkan oleh para ahli yang selalu sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Cocoklogi? Entahlah, terserah menamai apa. Tapi apakah wajar sebuah kitab yang diturunkan di tanah yang tandus dan penerimanya adalah seorang buta huruf selalu sesuai dengan ilmu pengetahuan modern. Ini selalu mengusik pikiran saya, dan saya harus bangga menjadi seorang muslim.


Jakarta Selatan, 12 Desember 2016



~Alza Maligana


________________

Sumber:

  • Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi
  • SB Hari Lubis dan Martani Huseini, Pengantar Teori Organisasi; Suatu Pendekatan Makro