"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Senin, 22 Oktober 2018

Aku Berhentinya di Kamu Saja

Oktober 22, 2018 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , 6 comments
“Apa kamu benar-benar mencintaiku?”

Pertanyaan ini setali tiga uang dengan racikan tabib masyhur di negeri nan jauh disana, yang harus diteguk teratur dalam sehari, sekadar untuk memastikan bahwa manusia gila dan nihil wibawa ini benar-benar mencintaimu.

Aku linglung harus menjawab apa? Mungkin, sebagian dari deretan aksara ini bias menjelaskan. Sedikit saja. Biar kamu penasaran.

Aku mencintaimu nyaris tanpa alasan. Bagiku, belum ada tumpukan kalimat yang berdebat di dahi ini, yang berkalam lihai menjelaskan mengapa aku mencintaimu. Jika kamu tetap bertanya, mungkin ada beberapa asbab musababnya.

Tanjung Lesung
Aku mencintaimu karena aku tak perlu menjadi orang lain dihadapanmu. Bebas. Yang kamu lihat kini, itulah yang sebenarnya, atau mungkin belum semuanya.

Semusim kita tertawa bersama, menciptakan lelucon receh. Lalu kamu tertawa bukan karena lucunya candaanku, tapi karena anehnya selera humorku. Tiba-tiba wajahku penuh coret amarah dan dendam, berjalan beriringan dengan hujan tangis dari mataku yang tidak tahu malu membahasi bahumu di malam itu. Lalu kamu tenang memeluk, mengusap pelan, “Tidak apa-apa.” Aku terlalu cengeng, lemah, dan manja.

“Bagaimana kalau ada yang lebih baik?”

Lembut lisanmu mencegat. Dahiku mengkerut. Semoga ujian disertasi tak sesulit ini.

Aku menetapkan hati yang tetap berkembang layarnya dan menjungkal ke atas untuk tetap maju, bukan karena mau bermain-main, walaupun mungkin pembuktian baru seujung jari. Aku berhentinya di kamu saja. Cukup kamu saja.

Aku suka caramu berbicara, memberi isyarat, membantah, memeluk, dan menggenggam tanganku. Hangat.

Tanjung Lesung

Lalu kamu kembali menahan, “Tapi aku banyak kurangnya?”. Aku sadar kamu bukanlah Dewi Athena yang jelita paras sampai tutur katanya, sebagaimana aku pun bukan Jibril yang tenang dan suci dalam semua tindakannya.

Kekurangan, keegoisan, ketidakpedulian, dan rangakaian kekurangan lain itu tetaplah membumi. Kamu dan aku butuh waktu untuk menyamakan warna, butuh waktu menyejajarkan frekuensi agar hati kita terikat bersama, agar pikiran kita berjalan dalam satu gaung dan gema yang sama.

Jika semuanya datar saja, apa menariknya kisah kita? Sudah mafhum, tali yang terkekang itu perlu guncangan, tarikan, dan sedikit hantaman untuk membuktikan kekuatan eratnya.

Diperjalanan menuju tempatmu berteduh, aku memandangi matahari yang membelah langit Jakarta, persis seperti romanmu yang membelah dimataku. Aku berhentinya di kamu saja. Cukup kamu saja.

Jakarta, 23 September 2017



~Alza