"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Selasa, 18 Agustus 2020

Buton dan VOC: Awal Mula Persekutuan

Agustus 18, 2020 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , No comments
Kongsi Dagang Hindia Timur atau yang lazim dikenal dengan nama Verenigde Oostindie Compagnie (VOC) adalah perusahaan besar yang terdiri dari gabungan enam perusahaan dagang Belanda.[1] VOC menjadi momok yang mengerikan jika kita membuka lembaran sejarah Indonesia yang dijajah selama 350 tahun. Literatur di Indonesia menggambarkan dengan panjang bahwa VOC dan Belanda adalah musuh besar nusantara atau Indonesia sehingga siapa saja yang menjadi sekutu VOC akan dicap sebagai musuh Indonesia juga.

Di Sulawesi, Kesultanan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin "Ayam Jantan dari Timur" hadir sebagai musuh tangguh VOC. Berkat perjuangan dan kegigihannya, Sultan Hasanuddin dinilai berhak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional[2]. Masyarakat Makassar patut berbangga atas status tersebut. Benak masyarakat pun perlahan terbentuk bahwa Makassar (Gowa) adalah musuh VOC.

Sultan Hasanuddin
I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe

Sumber: biografiku.com

Di sisi Sulawesi yang lain, Kesultanan Buton tampil sebagai sekutu VOC. Buton dan VOC membentuk jalinan persahabatan sehingga sebagian orang memberikan predikat “Sekutu Abadi” kepada Buton dan VOC. Kesultanan Buton berbanding terbalik dengan Kesultanan Gowa dalam hal hubungan dengan VOC, walaupun sama-sama menjadikan Islam sebagai agama dan pondasi kenegaraan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tasawuf, secara khusus Tarekat Sammaniyah[3][4] yang digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani. 

Dengan kenyataan bahwa Kesultanan Buton adalah Sekutu VOC, apakah Kesultanan Buton secara otomatis menjadi pengkhianat? Menurut saya, pertanyaan ini tidak dapat dilihat dan dijawab benar atau salah. Ada banyak variabel yang menjadi alasan mengapa persekutuan Buton dan VOC tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja. Kesultanan Buton sebagai salah satu wilayah yang berada di nusantara harus ditempatkan secara global dan berkaitan antara sejarah dari satu kerajaan dengan sejarah kerajaan lainnya, dimana sejarah Indonesia juga harus dilihat dalam rangkaian sejarah dunia pada umumnya[5].

***

Sebagai kerajaan dengan sistem pemerintahan sendiri, Buton tidak dapat terlepas dari interaksi dengan kerajaan sekitarnya. Buton dan kerajaan disekitarnya saling bergantung sehingga kondisi politik dan ekonomi masing-masing kerajaan pun tidak dapat dipisahkan dari bagaimana kualitas hubungan antar kerajaan.[6] Kerja sama antar kerajaan sekitar pun telah dibangun oleh Buton, diantaranya kerja sama dengan Gowa Tallo, Bone, dan Ternate, serta kerajaan lainnya yang ada disekitar wilayah Buton [7].

Jika Buton telah lama bekerja sama dalam berbagai hal dengan kerajaan sekitarnya, mengapa Buton pada akhirnya memilih VOC sebagai aliansinya? Mengapa tidak bersekutu dengan kerajaan tangguh disekitarnya, seperti Gowa dan Ternate? Ada dua faktor yang menjadi penyebab mengapa Buton memilih VOC dibanding Gowa dan Ternate, yakni faktor politik eksternal antara Gowa dan Ternate dan politik internal antar golongan Kaomu.

Faktor Eksternal: Terombang Ambing oleh Dua Kuasa

Walaupun telah lama bekerja sama dengan Gowa dan Ternate, hubungan Buton dengan kerajaan lain tidak selalu mulus, terutama dengan Gowa dan Ternate. Syekh Haji Abdul Ganiyu Kenepulu La Bula bertutur dalam Ajonga Yinda Malusa: [8]

Kaapaka karana tangko yindapo
(Sebab karena waktu belum ada)

Tee walanda ipiya malona yitu
(Dengan Belanda beberapa waktu lalu)

Adiaka timbu tajagani taranate
(Musim timur kita menjaga Ternate)

Tajagani Gowa tongkona adika bara
(Menjaga Gowa waktunya musim barat)

Potongan untaian syair dari Syekh Haji Abdul Ganiyu diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa Kesultanan Buton berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, dimana Kerajaan Gowa Tallo yang perkasa di barat dan Kerajaan Ternate yang adikuasa di timur tidak berhenti memberikan tekanan dan menunjukkan hegemoninya ke kerajaan-kerajaan sekitar.[9] Daerah-daerah jajahan Gowa Tallo dan Ternate semakin banyak, tapi Kesultanan Buton ingin merdeka dan tidak mau berada dibawah kendali kerajaan lain. Peperangan terus berlangsung antara Gowa dan Ternate hingga keduanya akhirnya berdamai dan membuat kesepakatan bahwa Selayar berada dibawah pengaruh Gowa dan Buton berada di bawah pengaruh Ternate.[10] 

Menghadapi realita tersebut jelas Buton menginginkan aliansi yang mengedepankan kesetaraan dan kemerdekaan, bukan sebagai jajahan. Namun, kepada siapakah Buton harus beraliansi? Siapa yang memiliki kekuatan dan sanggup menandingi kedua kerajaan tersebut?

Di sisi yang lain, VOC berlayar menuju timur mencari wilayah lain yang dapat mereka eksplorasi dan eksploitasi hasil alamnya. VOC harus rela berpindah dari Banten pascapengusiran yang menjadi memori kelam untuk mereka. Dalam perjalanannya, VOC kemudian melihat Buton sebagai wilayah yang sangat strategis dan potensial untuk diajak untuk bekerja sama. VOC perlahan hadir dengan kehati-hatian dan kekhawatiran akan mendapatkan penolakan yang sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya.

Namun diluar perkiraan, VOC ternyata mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Dayanu Ikhsanuddin La Elangi. Melihat peluang kerja sama,  Kesultanan Buton memutuskan untuk membentuk aliansi bersama VOC, dimana Buton diwakili oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin La Elangi (1578-1615) dan VOC diwakili oleh Apollonius Scotte[11], membuat perjanjian yang disebut dengan Janji Baana atau Perjanjian Pertama. Perjanjian Pertama ini kemudian dikukuhkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda I, Pieter Both, pada tahun 1613 ketika ia berkunjung ke Buton. Pieter Both menambahkan beberapa poin lagi sehingga perjanjian tersebut berubah menjadi Janji Ruaanguna atau Perjanjian Kedua.[12]

Pieter Both
Sumber: id.wikipedia.org

Hubungan antara Buton dan VOC yang terbentuk pada saat itu memberikan kekuatan kepada kedua belah pihak karena saling membantu dan melindungi, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Secara khusus Sultan Dayanu Ikhsanuddin memperkuat posisinya sebagai sultan dan VOC memperkuat kedudukannya di timur nusantara, serta Kesultanan Buton mampu bertahan dan stabil menghadapi hiruk pikuk persaingan antara kerajaan-kerajaan sekitar dan sepakat bahwa musuh VOC adalah musuh Buton juga.

Faktor Internal: Selisih antar Kaomu

Lahirnya Janji Baana atau Perjanjian Pertama dinilai  sebagai langkah taktis luar biasa oleh Sultan Dayanu Ikhsanudin yang ditempuh untuk menyelematkan Buton dari ancaman Angin Barat (Gowa) dan (Angin Timur) Ternate, seperti yang dikhawatirkan oleh Syaikh Haji Abdul Ganiyu. Tetapi, pilihan tersebut hadir dengan masalah dan intrik dari Sultan Dayanu Ikhsanudin. Janji Baana muncul beriringan dengan perselisihan dalam internal kerajaan, terutama internal golongan Kaomu.

Hal yang harus diingat kembali adalah Kesultanan Buton memiliki stratifikasi sosial yang cukup unik dalam perjalanan sejarah, dimana strata sosial terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu Kaomu, Walaka, dan Papara-Batua. Kaomu sendiri kemudian terbagi dalam 3 bagian, yaitu Kaomu Kumbewaha, Kaomu Tanailandu, dan Kaomu Tapi-tapi[13].  (Baca: Strata Sosial di Tanah Buton).

Walaupun Undang-undang Dasar Kesultanan "Murtabat Tujuh" telah disahkan pada masa kepemimpinan Sultan Dayanu Ikhsanudin pada tahun 1610 M, hasrat untuk memimpin kesultanan dari setiap golongan Kaomu tetap ada. Masing-masing menunggu momen untuk memimpin dan mempertahankan kepemimpinan, termasuk Sultan Dayanu Ikhsanudin yang mendapatkan momennya ketika bekerja sama dengan VOC.

Janji Baana yang dirumuskan sebagai solusi untuk Buton dan VOC berubah menjadi polemik ketika diperbaharui kembali oleh Gubernur Jenderal Pieter Both dengan Janji Ruaanguna atau Perjanjian Kedua. Kritik tajam diarahkan ke Sultan Dayanu Ikhsanudin karena dalam Janji Ruaanguna muncul klausul baru yang menyebutkan bahwa sepeninggal Sultan Dayanu Ikhsanuddin estafet kepemimpinan akan diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Syamsuddin dan Qomaruddin[14]. Oleh karena itu, terang benderang memperlihatkan bahwa kepemimpinan selanjutnya akan berada di tangan Kaomu Tanailandu. Klausul baru tersebut menciderai sistem yang telah ditetapkan dan seakan-akan memperlihatkan bahwa Sultan Dayanu Ikhsanuddin ingin memonopoli jabatan sultan hanya berada ditangan Kaomu Tanailandu. Kaomu Kumbewaha dan Kaomu Tapi-tapi jelas tidak akan tinggal diam terhadap keputusan tersebut.

Sumber: www.timur-angin.com

Penerapan keputusan tersebut berujung pada penolakan internal kesultanan, dimanfaatkan pula oleh Kesultanan Gowa dengan mempengaruhi sebagian kalangan istana untuk menolak dengan tegas keputusan tersebut. Hasil dari kumpulan penolakan yang mengkristal adalah turunnya Sultan Qomaruddin dari tampuk kepemimpinan digantikan oleh Sultan Gafurul Wadudu La Buke yang berasal dari Kaomu Kumbewaha. Pengalaman ini kemudian mengantarkan Kesultanan Buton kepada sistem pemilihan sultan yang baru sesuai Undang-undang Murtabat Tujuh, dimana calon sultan harus berasal dari Tanailandu, Kumbewaha, dan Tapi-tapi. Dalam proses pemilihan sultan, setiap cabang tersebut harus mengusulkan calonnya dan pemilihan akan dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat Siolimbona.[15]

***

Keputusan yang diambil oleh setiap pemimpin pasti memiliki celah dan cela, kecuali keputusan tersebut adalah wahyu dari Tuhan. Walaupun Janji Baana dan Janji Ruaanguna dinilai sebagai intrik Sultan Dayanu Ikhsanudin untuk memonopoli kekuasaan, keputusan kerja sama tersebut juga memberi dampak positif kepada Kesultanan Buton. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya Kerajaan Buton pada fase awal; sibuk menjaga diri dari bajak laut dan dominasi Kesultanan Gowa dan Ternate. Keputusan kerja sama ini disatu sisi adalah langkah yang sangat brillian sehingga Kesultanan Buton dapat mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Oleh karena itu, Kesultanan Buton tidak dapat dinilai mutlak sebagai pengkhianat bangsa. Keputusan yang diambil oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin adalah menjaga eksistensi wilayah dan darahnya sendiri. Pada fase awal, persekutuan Buton dan VOC menjunjung tinggi kesetaraan dan fokus pada simbiosis mutualisme masing-masing pihak, tidak seperti Kesultanan Gowa dan Kesultanan Ternate yang menjadikan Buton sebagai jajahan.

Janji Baana adalah cikal bakal lahirnya perjanjian-perjanjian selanjutnya sehingga Buton terikat oleh VOC. Keterikatan ini menjadi salah satu argumen bagi sebagian orang bahwa Buton dan VOC adalah sekutu abadi. Namun, apakah benar Buton dan VOC adalah sekutu abadi? InsyaAllah akan dibahas pada tulisan selanjutnya.

Semoga Allah merahmati para pendahulu kita. Mudah-mudahan Allah memaafkan mereka.


Pandeglang, Agustus 2020



~Alza

_____________________


[1] https://historia.id/kuno/articles/hari-ini-voc-berdiri-DWVe3

[2] Peranginangin, Marlon dkk. 2007. Buku Pintar Pahlawan Nasional, Banten: Scientific Press.

[3] Ridhwan, 2017, Development of Tasawuf in South Sulawesi, Qudus International Journal of Islamic Studies Volume 5, Issue 2.

[4] Rajab, Muh. 2015. DAKWAH ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN BUTON KE XXIX. Jurnal Diskursus Islam 49 Volume 3 Nomor 1.

[5] Latif, Yudhi. 2006. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Bandung: Mizan.

[6] Keuning, J. 1973. Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Ke XII. Jakarta. Bhatara.

[7] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

[8] La Niampe. 2000. Kabanti Oni Wolio (Puisi Berbahasa Wolio) Jilid 2. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

[9] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[10] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[11] Chalik, Husein A dkk. 1984. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tengggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[12] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[13] Zahari, A Mulku. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Daarul Butuni (Buton). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[14] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

[15] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sabtu, 23 Mei 2020

Administrasi dan Manajemen? Apa bedanya? (1)

Mei 23, 2020 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Administrasi dan Manajemen, apa perbedaannya? Dulu pertanyaan ini sering berputar-putar dipikiran saya sehingga saya bingung menjelaskan dimana letak perbedaan antara administrasi dan manajemen. Untuk teman-teman jurusan Ilmu Administrasi, secara khusus administrasi bisnis, saya ingin bertanya, apa bedanya administrasi bisnis dan manajemen bisnis? Bagaimana teman-teman dari jurusan administrasi bisnis menghadapi pertanyaan, “Jurusan administrasi bisnis itu ngapain aja? Ngurus surat-suratan gitu ya?” Terutama teman-teman dari politeknik, apa kalian masih mempelajari dasar-dasar mengetik? Ataukah telah lebih luas dari sekadar urusan ketik-mengetik?

Melalui artikel kali ini saya ingin membahas jawaban yang teman-teman dapat ajukan ketika mendapatkan pernyataan, “oh, administrasi itu bukannya ngurus persuratan, ya?”. Tulisan ini saya sarikan dari buku Studi tentang Ilmu Administrasi oleh Ulbert Silalahi dengan beberapa tambahan. Ini buku lama, tetapi cukup rinci menjelaskan tentang ilmu administrasi, mulai dari konsep hingga dimensinya. Selamat membaca.


*** 

Definisi dan Bias antara Administrasi dan Manajemen

Sebagaimana yang saya sebutkan diatas, pada umumnya orang akan mendefinisikan administrasi sebagai surat menyurat. Apa itu keliru? Sebenarnya tidak sepenuhnya keliru. Mungkin karena keterbatasan informasi atau pengetahuan sehingga pemahaman masyarakat mengenai administrasi hanya berkisar di tata usaha saja.

Untuk memperjelas sesuatu, saya suka mendefinisikan sesuatu tersebut sebelum membahasnya lebih jauh, dimana definisi atau pengertian itu perlu dilihat dari berbagai aspek, diantaranya dalam ruang lingkup sempit dan luas.

Dalam pengertian sempit, administrasi dapat diartikan sebagai tata usaha, seperti pendapat yang disampaikan oleh Wajong bahwa administrasi meliputi pekerjaan tata usaha yang bersifat mencatat segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi untuk menjadi bahan keterangan bagi pemimpin. Jadi, tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa administrasi itu urusan tata usaha.

Dalam artian tata usaha, administrasi bertugas untuk mengubah data menjadi informasi, kemudian informasi itu diolah menjadi pengetahuan. Pengetahuanlah yang seharusnya menjadi “makanan” para pimpinan organisasi, bukan informasi, apalagi sekadar data yang masih mentah.



Namun, definisi administrasi juga perlu dilihat dalam pengertian yang luas, dimana administrasi diartikan dengan pengaturan dan tugas yang diperlukan untuk mengendalikan operasi rencana atau organisasi [1]. Herbert A. Simon memberikan definisi yang lebih luas menguraikan bahwa apabila dua orang atau lebih bekerja sama untuk menggulingkan sebuah batu, maka dalam kegiatan tersebut terdapat proses administrasi. The Liang Gie memberikan penjelasan bahwa administrasi adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan sekelompok orang dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.

Di definisi luas inilah kemudian muncul bias antara administrasi dan manajemen karena definisi manajemen pun tidak jauh berbeda dengan administrasi, dimana George R Terry menjelaskan bahwa manajemen kerangka kerja atau proses yang membutuhkan sebuah pengarahan dan bimbingan suatu kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang nyata[2]. Bias tersebut muncul karena kesamaan poin antara administrasi dan manajemen, yaitu sekelompok orang, kerja sama, dan tujuan tertentu. Lalu, dimana bedanya?

*** 

Menurut saya penjelasan dari Dalton Mc. Farland lah yang memberikan pemisahan yang jelas antara administrasi dan manajemen dengan mengatakan;

“Administration refers to the determination of major aims and policies, whereas management refers to the carrying out of operation designed to accomplish the aims and effectuate policies” 

(Administrasi mengacu pada penentuan tujuan dan kebijakan utama, sedangkan manajemen mengacu pada pelaksanaan operasi yang dirancang untuk mencapai tujuan dan menjalankan kebijakan) 


Selain Farland, Ordway Tead juga memberikan penegasan mengenai administrasi dan manajemen dengan mengatakan:

“Administrasi sebagai suatu proses dan badan yang bertanggung jawab terhadap penentuan tujuan, dimana organisasi dan manajemen digariskan.” 

Dari dua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari administrasi adalah manajemen dan organisasi. Gambaran mengenai kedudukan keduanya dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini:



Dari gambar tersebut kemudian ditarik penjelasan lebih lanjut bahwa di dalam administrasi terdapat manajemen dan organisasi. Administrasi dalam arti luas bertindak jauh lebih luas dibanding manajemen dan manajemen bertindak sebagai pelaksana dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh administrasi, dan organisasi adalah wadah atau tempat untuk menjalankan proses manajemen.

Selain dari uraian diatas, dari sisi mana lagi kita dapat melihat perbedaan antara administrasi dan manajemen? Latar belakang lahirnya teori yang mendasari administrasi oleh Henry Fayol dan manajemen oleh Frederick W. Taylor akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai administrasi dan manajemen yang akan saya bahas pada tulisan selanjutnya.

Tanjung Lesung, 23 Mei 2020



~ Alza Maligana

____________


Footnote:
[1] Cambridge Dictionary, https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/administration
[2] https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-manajamen/

Minggu, 05 Januari 2020

Mohammad Hatta: Anak Ulama yang Memilih Belanda dibanding Arab

Januari 05, 2020 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Mohammad Athar atau yang lebih dikenal dengan nama Mohammad Hatta, lahir di Fort de Kock (Bukit Tinggi), 12 Agustus 1902. Dalam tubuhnya mengalir darah pejuang Islam dan Minangkabau. Ayah beliau adalah seorang ulama tarekat bernama Mohammad Jamil, meninggal ketika Hatta berumur tujuh bulan. Kakek beliau dari pihak ayah adalah Syaikh Abdurrahman Batuhampar, ulama tarekat berpengaruh, guru dari Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syaikh Salim Batubara. Syaikh Abdurrahman juga menjadi pendiri Surau Batuhampar yang menjadi tempat bertamasya iman menuntut ilmu, salah satu dari sedikit surau yang bertahan pascaperang Paderi. [1]
Sumber:
https://www.biografiku.com
Selain mengalirnya darah ulama, keluarga Hatta termasuk dalam pasukan Imam Bonjol saat Perang Paderi. Walaupun demikian, Hatta tidak terlalu berbangga dan mendukung perang diinsiasi Imam Bonjol tersebut. Ia mengkritik dan menyesali jalan perang yang ditempuh oleh Imam Bonjol dengan mengatakan,

”Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai.”

Hatta berkesimpulan demikian karena melihat dampak yang sangat besar mempengaruhi ekonomi hingga politik tanah Minangkabau. Hatta lebih mendahulukan konfrontasi melalui diplomasi dan politik, daripada melawan dengan jalan perang yang efeknya lebih besar dan berkepanjangan. 

Sejak kecil Mohammad Hatta sudah menunjukkan bakat dan kepandaiannya. Beliau memiliki pribadi yang pandai, terstruktur, disiplin, dan rapi sehingga paman beliau, yakni Syaikh Arsyad[2], melihat bahwa Hatta adalah suksesor terbaik untuk masa depan surau yang didirikan Syaikh Abdurrahman, kakek Hatta sendiri. Bergegaslah Syaikh Arsyad merayu Hatta dan ibunya agar kelak Hatta berkenan meneruskan pendidikannya ke Makkah atau Kairo. Jalan perjuangan melawan penjajahan adalah dengan mengembalikan Minangkabau ke pangkuan Islam yang seutuhnya dan saat itu pelajaran keislaman sedang naik daun di Minangkabau.

Namun, harapan tinggal harapan, Syaikh Arsyad harus menelan ludah dan mengalah ketika Hatta tidak memilih Makkah atau Kairo sebagai tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Pecahlah impian, berkeping semua rencana. Jika bukan Makkah atau Kairo, lantas kemana? Tak syak Hatta melabuhkan impian dan tujuannya ke Belanda! Ya, Belanda! Sebuah bangsa yang rakus menghabisi jiwa dan tanah Minangkabau untuk kepentingan mereka sendiri. Pilihan Hatta menuju Belanda didukung penuh pula oleh ayah dan ibunya, yakni Mas Agus Haji Ning (ayah tiri) dan Siti Saleha, walaupun keluarga dari pihak ayah kandung Hatta sangat menentang pilihan yang tidak lazim itu.

Kita juga mungkin akan bertanya, mengapa Belanda? Padahal, kakek, ayah kandung, dan pamannya adalah ulama yang memiliki pengaruh di Batuhampar.

Sumber: https://www.biografiku.com/

***

Setidaknya ada dua alasan yang dapat saya tangkap dari buku Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta oleh Mavis Rose mengapa Hatta memilih Belanda yang menunjukkan bahwa pilihan tersebut bukan nihil alasan, tetapi ada latar belakang peristiwa dan pengalaman emosional Hatta.



Pertama, Hatta memilih jihad pendidikannya ke Belanda karena pengaruh tidak langsung dari gurunya, yaitu Syaikh Muhammad Jamil Jambek. Sang Guru adalah tokoh pelopor pembaharu di Minangkabau yang dikenal dengan gerakan Reformis Modernis. Beliau adalah murid dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Jamil_Jambek

Muhammad Jambek menilai dan menyatakan bahwa kaum muslimin perlu belajar kepada Eropa untuk menghadapi tantangan dominasi Eropa, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diyakini masyarakat Minangkabau pada umumnya, termasuk Syaikh Arsyad, yang gencar menyarankan para pemuda untuk melanjutkan pendidikannya ke Makkah, lalu masuk ke universitas di Kairo, yaitu Universitas Al-Azhar. Muhammad Jamil Jambek menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh membatasi diri hanya belajar keagamaan, seorang muslim harus membuka dan memperkaya diri mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu bersaing dan menghadapi tantangan zaman yang semakin berkembang.

Dalam satu sisi dapat dilihat bahwa Hatta tumbuh sebagai individu yang memadukan ilmu dari Barat dan Islam, dimana jika ditinjau dari sisi ideologi, jalan yang beliau pilih adalah sosialis, tetapi sosialisme tersebut telah ia ramu dengan Islam sehingga disebut Islam-Sosialisme.[3] Ide menghubungkan Islam dan Sosialisme yang ia tempuh ini bertambah kuat ketika beliau bertemu dengan HOS Tjokroaminoto yang juga mengusung paham Islam Sosialisme.[4]


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Umar_Said_Cokroaminoto

Kedua, perselisihan internal kaum muslimin, yakni antara Reformis Modernis dan Sufi Tarekat Naqsabandiyah. Hatta lahir dari keluarga yang memegang erat paham Sufi Tarekat, sedangkan guru beliau, yakni Muhammad Jambek, adalah seorang Reformis Modernis. Reformis Modernis terus menerus menyerang Sufi Tarekat dengan pandangan bahwa Sufi Tarekat bukan dari Islam, tetapi dari India. Islam harus dimurnikan kembali dan dijauhkan dari takhayul dan khurafat yang ada dalam tubuh Sufi Tarekat. Secara tidak langsung pola ini terlihat seperti pola pemantik api di Perang Paderi. Perpaduan unik ini membuat Mavis Rose menyebut Hatta sebagai seorang sufi sekaligus wahabi. Pertikaian dan perdebatan terus terjadi diantara kedua kubu ini sehingga Hatta tidak memilih persatuan keagamaan, tetapi memilih persatuan atas dasar sosialisme.

Sumber: https://historia.id/politik/articles/demi-pengakuan-kedaulatan-P9jMZ

Perjalanan hidup terus bergulir dan Hatta akhirnya melihat pula bahwa persatuan berdasarkan ideologi Sosialisme juga sempat mengecewakan beliau, seperti peristiwa Konferensi Meja Bundar, dimana mayoritas yang memilih tidak setuju pada keputusan Hatta dan delegasi lainnya saat melakukan perundingan justru rekan-rekan beliau dari Partai Sosialis Indonesia yang kecewa karena Irian Barat jatuh ke tangan Belanda.[5] Padahal saat itu kedaulatanlah yang harus diperjuangkan terlebih dahulu. Seperti itulah persatuan, akan ada celah disetiap sisinya dan hanya kedewasaan yang dapat menyatukan kerenggangan tersebut.

***

Jujur saja, jika saya hidup pada masa kecil Hatta yang dihadapkan oleh pilihan Makkah-Kairo dan Belanda, hati saya lebih condong ke Makkah-Kairo. Tetapi, Allah dengan sifat Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak mengarahkan Hatta memilih Belanda daripada Makkah dan Kairo. Pelajaran sederhana dalam pandangan sempit saya, Hatta mungkin akan memberikan dampak positif yang begitu besar kepada surau jika ia memilih Makkah dan Kairo, tetapi Allah menuntut Hatta memilih Belanda untuk memberikan maslahat yang lebih besar, yakni kemerdekaan Indonesia.

Hatta menjadi salah satu tokoh penting dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pikiran dan tulisan beliau yang tajam terhadap kawan dan lawan ciri khas beliau. Kekuatan beliau bukan di orasi, tapi tulisan dan strategi[6]. Kekuatan ini ia dapatkan selama menempuh pendidikan dan berorganisasi di Belanda. Berbagai kesenangan harus ia relakan demi satu hal, yakni kemerdekaan bangsa Indonesia. Semoga Allah merahmati dan mengampuni anda wahai Bapak Bangsa!

Pandeglang, 05 Januari 2020


  
~Alza


[2] Syaikh Arsyad adalah saudara tiri dari ayah Mohammad Hatta yang bernama Syaikh Muhammad Jamil. Ayah Hatta meninggal ketika Hatta masih berumur tujuh bulan. Sepeninggal Syaikh Abdurahman Batuhampar, surau dipimpin oleh Syaikh Arsyad.

[3] Hatta tidak mengadopsi Sosialisme secara mentah-mentah. Diantara hal yang beliau kritisi adalah harga pasar. Hatta lebih setuju pada pernyataan Adam Smith bahwa biarlah pasar yang menentukan harga oleh fenomena supply and demand, pemerintah tidak boleh terlalu banyak melakukan intervensi pada pasar karena sangat berpotensi merusak kondisi perekonomian negara.

Hatta semakin yakin dengan pendapat ini karena sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “…‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, serta mengencangkan, melapangkan, dan memberi rezeki…”. Wallahu a’lam

[4] Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa, (Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa) oleh Tim Buku Tempo

[5] Selain dari buku, anda dapat membaca serpihan kisah ini di https://historia.id/politik/articles/demi-pengakuan-kedaulatan-P9jMZ

[6] Kekuatan orasi dimiliki Soekarno, sedangkan kekuatan menulis dan strategi dimiliki Hatta. Soekarno lebih memahami masyarakat Jawa sehingga ide-ide berat yang diajukan oleh Hatta lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa jika disampaikan oleh Soekarno. Hanya orang tertentu dengan frekuensi yang sama yang dapat memahami dingin dan tajamnya kalimat Hatta disetiap pidato-pidato datarnya.