"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Minggu, 05 Januari 2020

Mohammad Hatta: Anak Ulama yang Memilih Belanda dibanding Arab

Januari 05, 2020 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Mohammad Athar atau yang lebih dikenal dengan nama Mohammad Hatta, lahir di Fort de Kock (Bukit Tinggi), 12 Agustus 1902. Dalam tubuhnya mengalir darah pejuang Islam dan Minangkabau. Ayah beliau adalah seorang ulama tarekat bernama Mohammad Jamil, meninggal ketika Hatta berumur tujuh bulan. Kakek beliau dari pihak ayah adalah Syaikh Abdurrahman Batuhampar, ulama tarekat berpengaruh, guru dari Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syaikh Salim Batubara. Syaikh Abdurrahman juga menjadi pendiri Surau Batuhampar yang menjadi tempat bertamasya iman menuntut ilmu, salah satu dari sedikit surau yang bertahan pascaperang Paderi. [1]
Sumber:
https://www.biografiku.com
Selain mengalirnya darah ulama, keluarga Hatta termasuk dalam pasukan Imam Bonjol saat Perang Paderi. Walaupun demikian, Hatta tidak terlalu berbangga dan mendukung perang diinsiasi Imam Bonjol tersebut. Ia mengkritik dan menyesali jalan perang yang ditempuh oleh Imam Bonjol dengan mengatakan,

”Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai.”

Hatta berkesimpulan demikian karena melihat dampak yang sangat besar mempengaruhi ekonomi hingga politik tanah Minangkabau. Hatta lebih mendahulukan konfrontasi melalui diplomasi dan politik, daripada melawan dengan jalan perang yang efeknya lebih besar dan berkepanjangan. 

Sejak kecil Mohammad Hatta sudah menunjukkan bakat dan kepandaiannya. Beliau memiliki pribadi yang pandai, terstruktur, disiplin, dan rapi sehingga paman beliau, yakni Syaikh Arsyad[2], melihat bahwa Hatta adalah suksesor terbaik untuk masa depan surau yang didirikan Syaikh Abdurrahman, kakek Hatta sendiri. Bergegaslah Syaikh Arsyad merayu Hatta dan ibunya agar kelak Hatta berkenan meneruskan pendidikannya ke Makkah atau Kairo. Jalan perjuangan melawan penjajahan adalah dengan mengembalikan Minangkabau ke pangkuan Islam yang seutuhnya dan saat itu pelajaran keislaman sedang naik daun di Minangkabau.

Namun, harapan tinggal harapan, Syaikh Arsyad harus menelan ludah dan mengalah ketika Hatta tidak memilih Makkah atau Kairo sebagai tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Pecahlah impian, berkeping semua rencana. Jika bukan Makkah atau Kairo, lantas kemana? Tak syak Hatta melabuhkan impian dan tujuannya ke Belanda! Ya, Belanda! Sebuah bangsa yang rakus menghabisi jiwa dan tanah Minangkabau untuk kepentingan mereka sendiri. Pilihan Hatta menuju Belanda didukung penuh pula oleh ayah dan ibunya, yakni Mas Agus Haji Ning (ayah tiri) dan Siti Saleha, walaupun keluarga dari pihak ayah kandung Hatta sangat menentang pilihan yang tidak lazim itu.

Kita juga mungkin akan bertanya, mengapa Belanda? Padahal, kakek, ayah kandung, dan pamannya adalah ulama yang memiliki pengaruh di Batuhampar.

Sumber: https://www.biografiku.com/

***

Setidaknya ada dua alasan yang dapat saya tangkap dari buku Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta oleh Mavis Rose mengapa Hatta memilih Belanda yang menunjukkan bahwa pilihan tersebut bukan nihil alasan, tetapi ada latar belakang peristiwa dan pengalaman emosional Hatta.



Pertama, Hatta memilih jihad pendidikannya ke Belanda karena pengaruh tidak langsung dari gurunya, yaitu Syaikh Muhammad Jamil Jambek. Sang Guru adalah tokoh pelopor pembaharu di Minangkabau yang dikenal dengan gerakan Reformis Modernis. Beliau adalah murid dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Jamil_Jambek

Muhammad Jambek menilai dan menyatakan bahwa kaum muslimin perlu belajar kepada Eropa untuk menghadapi tantangan dominasi Eropa, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diyakini masyarakat Minangkabau pada umumnya, termasuk Syaikh Arsyad, yang gencar menyarankan para pemuda untuk melanjutkan pendidikannya ke Makkah, lalu masuk ke universitas di Kairo, yaitu Universitas Al-Azhar. Muhammad Jamil Jambek menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh membatasi diri hanya belajar keagamaan, seorang muslim harus membuka dan memperkaya diri mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu bersaing dan menghadapi tantangan zaman yang semakin berkembang.

Dalam satu sisi dapat dilihat bahwa Hatta tumbuh sebagai individu yang memadukan ilmu dari Barat dan Islam, dimana jika ditinjau dari sisi ideologi, jalan yang beliau pilih adalah sosialis, tetapi sosialisme tersebut telah ia ramu dengan Islam sehingga disebut Islam-Sosialisme.[3] Ide menghubungkan Islam dan Sosialisme yang ia tempuh ini bertambah kuat ketika beliau bertemu dengan HOS Tjokroaminoto yang juga mengusung paham Islam Sosialisme.[4]


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Umar_Said_Cokroaminoto

Kedua, perselisihan internal kaum muslimin, yakni antara Reformis Modernis dan Sufi Tarekat Naqsabandiyah. Hatta lahir dari keluarga yang memegang erat paham Sufi Tarekat, sedangkan guru beliau, yakni Muhammad Jambek, adalah seorang Reformis Modernis. Reformis Modernis terus menerus menyerang Sufi Tarekat dengan pandangan bahwa Sufi Tarekat bukan dari Islam, tetapi dari India. Islam harus dimurnikan kembali dan dijauhkan dari takhayul dan khurafat yang ada dalam tubuh Sufi Tarekat. Secara tidak langsung pola ini terlihat seperti pola pemantik api di Perang Paderi. Perpaduan unik ini membuat Mavis Rose menyebut Hatta sebagai seorang sufi sekaligus wahabi. Pertikaian dan perdebatan terus terjadi diantara kedua kubu ini sehingga Hatta tidak memilih persatuan keagamaan, tetapi memilih persatuan atas dasar sosialisme.

Sumber: https://historia.id/politik/articles/demi-pengakuan-kedaulatan-P9jMZ

Perjalanan hidup terus bergulir dan Hatta akhirnya melihat pula bahwa persatuan berdasarkan ideologi Sosialisme juga sempat mengecewakan beliau, seperti peristiwa Konferensi Meja Bundar, dimana mayoritas yang memilih tidak setuju pada keputusan Hatta dan delegasi lainnya saat melakukan perundingan justru rekan-rekan beliau dari Partai Sosialis Indonesia yang kecewa karena Irian Barat jatuh ke tangan Belanda.[5] Padahal saat itu kedaulatanlah yang harus diperjuangkan terlebih dahulu. Seperti itulah persatuan, akan ada celah disetiap sisinya dan hanya kedewasaan yang dapat menyatukan kerenggangan tersebut.

***

Jujur saja, jika saya hidup pada masa kecil Hatta yang dihadapkan oleh pilihan Makkah-Kairo dan Belanda, hati saya lebih condong ke Makkah-Kairo. Tetapi, Allah dengan sifat Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak mengarahkan Hatta memilih Belanda daripada Makkah dan Kairo. Pelajaran sederhana dalam pandangan sempit saya, Hatta mungkin akan memberikan dampak positif yang begitu besar kepada surau jika ia memilih Makkah dan Kairo, tetapi Allah menuntut Hatta memilih Belanda untuk memberikan maslahat yang lebih besar, yakni kemerdekaan Indonesia.

Hatta menjadi salah satu tokoh penting dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pikiran dan tulisan beliau yang tajam terhadap kawan dan lawan ciri khas beliau. Kekuatan beliau bukan di orasi, tapi tulisan dan strategi[6]. Kekuatan ini ia dapatkan selama menempuh pendidikan dan berorganisasi di Belanda. Berbagai kesenangan harus ia relakan demi satu hal, yakni kemerdekaan bangsa Indonesia. Semoga Allah merahmati dan mengampuni anda wahai Bapak Bangsa!

Pandeglang, 05 Januari 2020


  
~Alza


[2] Syaikh Arsyad adalah saudara tiri dari ayah Mohammad Hatta yang bernama Syaikh Muhammad Jamil. Ayah Hatta meninggal ketika Hatta masih berumur tujuh bulan. Sepeninggal Syaikh Abdurahman Batuhampar, surau dipimpin oleh Syaikh Arsyad.

[3] Hatta tidak mengadopsi Sosialisme secara mentah-mentah. Diantara hal yang beliau kritisi adalah harga pasar. Hatta lebih setuju pada pernyataan Adam Smith bahwa biarlah pasar yang menentukan harga oleh fenomena supply and demand, pemerintah tidak boleh terlalu banyak melakukan intervensi pada pasar karena sangat berpotensi merusak kondisi perekonomian negara.

Hatta semakin yakin dengan pendapat ini karena sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “…‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, serta mengencangkan, melapangkan, dan memberi rezeki…”. Wallahu a’lam

[4] Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa, (Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa) oleh Tim Buku Tempo

[5] Selain dari buku, anda dapat membaca serpihan kisah ini di https://historia.id/politik/articles/demi-pengakuan-kedaulatan-P9jMZ

[6] Kekuatan orasi dimiliki Soekarno, sedangkan kekuatan menulis dan strategi dimiliki Hatta. Soekarno lebih memahami masyarakat Jawa sehingga ide-ide berat yang diajukan oleh Hatta lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa jika disampaikan oleh Soekarno. Hanya orang tertentu dengan frekuensi yang sama yang dapat memahami dingin dan tajamnya kalimat Hatta disetiap pidato-pidato datarnya.