"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Kamis, 16 Maret 2017

Aktivis, Jangan Terlalu Lama di Zona Nyaman! (Chapter 1)

Maret 16, 2017 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , No comments
Mahasiswa mana yang tidak ingin nyaman? Apalagi untuk seorang mahasiswa yang penuh dengan berbagai tugas dari dosen dan tanggung jawab organisasi, berada di kondisi nyaman adalah salah satu bentuk “surga dunia.”

Namun, ada sebuah kondisi dimana kita dikagetkan oleh guncangan organisasi yang disebabkan pergerakan kompetitor atau pesaing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa antar organisasi dalam dan luar kampus terdapat sebuah fenomena persaingan agar dapat bertahan dalam jangka panjang. Perebutan kader agar organisasi dapat survive adalah lumrah.



Mengapa kita perlu bersiap siaga terhadap ancaman dari luar? Terlebih dahulu kita perlu kita memahami bahwa paradigma berorganisasi telah berubah dari masa ke masa.[1] Di masa awal, teori organisasi lebih terfokus pada pengaturan internal, dimana seseorang akan melakukan pekerjaan apa saja walaupun tidak disukai, asalkan ia dibayar lebih. Ini dikenal dengan Teori Organisasi Klasik yang pertama kali dicetuskan oleh Frederick W. Taylor, Bapak Manajemen.

Selanjutnya, paradigma berubah ke pemikiran Neo Klasik oleh Elton Mayo yang menjelaskan bahwa bukan hanya materi atau finansial, dan beban kerja yang diperhatikan. Interaksi antar anggota organisasi juga menjadi pemicu perubahan kinerja sebuah organisasi.





Manusia kemudian semakin peka memahami bahwa lingkungan juga memberi pengaruh besar terhadap organisasi. Kita sudah tidak dapat lagi menyepelekan pengaruh pihak luar terhadap kinerja organisasi. Muncullah paradigma modern yang memperhatikan lingkungan sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi organisasi. Lingkungan yang dimaksud disini adalah pihak-pihak, seperti individu atau organisasi luar, yang berpotensi memberi pengaruh.

***


Sebelum membahas lebih jauh, mari kita meliihat pihak mana saja yang memberi pengaruh langsung terhadap lembaga dakwah kampus. Di pembahasan kali ini, penulis akan kembali menggunakan LDK Al Fatih dalam topik Learning Organization di Lembaga Dakwah Kampus.




Secara langsung, LDK Al Fatih terkoneksi dengan pihak sekitar; yakni dosen & staff, UKM dan Himpunan, dan mahasiswa non kader.[2] LDK Al Fatih harus peka terhadap isu yang berkembang di luar. Kurang pekanya Al Fatih terhadap isu yang berkembang di dalam dan luar kampus dapat menjadi bumerang untuk Al Fatih dalam jangka panjang atau pendek.

InsyaAllah topik ini penulis akan bagi dalam beberapa chapter. Di chapter pertama ini penulis akan fokus terlebih dahulu pada dosen sebagai aktor penting yang mempengaruhi lembaga dakwah kampus.

***
Dosen menjadi poin terpenting bagi Al Fatih karena dosen lah yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan kebijakan dalam kampus yang akan membentuk pola pergerakan setiap organisasi internal maupun eksternal.

Bagaimana cara bertahan dari pengaruh organisasi lain yang dapat mengganggu stabilitas Al Fatih dalam mengkader dan regenerasi pengurus? Harus penulis akui bahwa seni bermuamalah akan bermain disini.

“Seni bermuamalah itu sangat perlu”

Cara lazim digunakan adalah mendekati dosen yang paling memberi pengaruh terhadap perubahan kebijakan kampus. Al Fatih perlu memilih dan memilah dosen yang dapat memberi pengaruh terhadap kebijakan, kemudian di susun berdasarkan tingkat prioritas. Tulislah dalam catatan khusus dan arsipkan, kemudian diteruskan ke pengurus selanjutnya karena dosen adalah pihak yang bertahan lebih lama dari pengurus, dimana pengurus hanya tiga, empat, atau lima tahun berada di kampus, selanjutnya kepengurusan harus berganti.

“Biasakan menulis dan mengarsipkan data dengan rapi. Pengurus dari mahasiswa hanya akan bertahan tiga, empat, atau lima tahun. Dosen dapat bertahan puluhan tahun hingga pensiun.”

Salah satu kesalahan fatal adalah lebih mendekati dosen yang pengaruhnya rendah. Sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah, hanya saja kita perlu mengetahui skala prioritas.[3] Jika dapat dijalankan bersamaan, tentu lebih baik lagi. Dosen-dosen tersebut akan menjadi aset penting dalam jangka panjang. Al Fatih juga perlu bekerja sama dengan dosen pembina organisasi untuk mendekati dosen sasaran agar komunikasi lebih efektif dan efisien.

Jika komunikasi telah terjalin antara Al Fatih dan dosen, selanjutnya adalah melakukan dua cara agar dosen tersebut berada dipihak Al Fatih, yakni kooptasi dan interlocking directorates.[4]

“Ada dua cara, yakni Kooptasi dan Interlocking Directorates”

Kooptasi adalah mengadopsi seseorang yang dianggap penting, dimasukkan menjadi anggota organisasi agar individu atau aktor tersebut perhatian terhadap keberhasilan organisasi.

Bagaimana jika dosen tersebut berpeluang mempengaruhi kebijakan dasar organisasi Al Fatih? Tetap letakkan ia di posisi tinggi, tapi diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu kebijakan dasar organisasi, misalnya diatur agar ia memiliki hak untuk berpendapat, tapi tidak memiliki hak suara. Siasat ini pernah dilakukan HOS Tjokroaminoto ketika mengatur Sarekat Islam agar beliau dapat berperan penuh dalam memimpin, tanpa menjatuhkan pimpinan lama yang telah membangun Sarekat Islam.[5] HOS Tjokroaminoto menempatkan pimpinan lama, yakni H. Samanhoedi sebagai Ketua Kehormatan; punya hak berpendapat, tapi tidak memiliki hak suara.

Namun siasat ini tentu tidak boleh hanya mahasiswa yang melakukannya. Untuk memudahkan, bantuan dari dosen pembina Al Fatih pun sangat dibutuhkan. Pengurus dari dosen dan mahasiswa perlu bekerja sama dan berjalan beriringan dalam visi misi yang sama.

Interlocking directorates mirip dengan kooptasi, yakni mengadopsi orang-orang penting dalam organisasi lain untuk dijadikan pengurus dalam organisasi agar dapat menjadi jembatan komunikasi antar organisasi, dan dapat menjalin kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang memiliki tujuan masing-masing.

Tentu saja kedua solusi tersebut tetap akan berkendala. Kendala paling utama adalah ketidaksesuaian nilai dan kepentingan LDK dengan dosen yang akan dimasukkan ke dalam tubuh LDK. Pilihan apapun itu akan tetap beresiko. Berusaha menjalin hubungan dengan dosen atau tidak menjalin hubungan sama-sama memiliki resiko. Pembina dan Ketua LDK perlu berhati-hati memilih dan bertindak agar tidak terjadi kesalahan fatal dikemudian hari.


Semoga bermanfaat.

Jakarta, 16 Maret 2016



~Alza Maligana
_________________

1. SB Hari Lubis dan Martani Huseini. 2009. Pengantar Teori Organisasi, Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

2. Mahasiswa non kader adalah mahasiswa yang tidak mengikuti organisasi mana pun, namun berpotensi bergabung dalam kegiatan organisasi, atau minimal menjadi simpatisan.

3. Skala prioritas yang paling umum adalah Penting-Mendesak, Penting - Tidak Mendesak, Tidak Penting tapi Mendesak, Tidak Penting dan Tidak Mendesak.

4. SB Hari Lubis dan Martani Huseini. 2009. Pengantar Teori Organisasi, Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

5. Seri Buku Tempo. 2016. Tjokroaminoto; Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Gramedia.

Senin, 13 Maret 2017

Karena Kader Akan Tetap Rasional !

Maret 13, 2017 Posted by Salam Fadillah Alzah , , 2 comments
Beberapa tahun lalu ketika masih di Makassar, saya mendengar keluhan teman-teman dari lembaga dakwah kampus tentang keaktifan dan keloyalan anggota-anggotanya. Adalah hal yang wajar jika tidak semua anggota akan setia dan aktif sepenuhnya di organisasi. Di tulisan kali ini saya akan mencoba membahas salah satu penyebab munculnya masalah tersebut dari kacamata ilmu ekonomi.

***

Sebelum meminta calon kader aktif dalam organisasi, terlebih dahulu kita perlu memahami bahwa setiap target dakwah yang akan dijadikan kader organisasi memiliki motivasi yang berbeda-beda, serta dengan rasionalitas yang berbeda-beda juga.[1]

Bagi sebagian orang, turut serta dalam kegiatan dakwah adalah sesuatu yang tidak rasional. Pertimbangannya apa? Misalnya tidak menghasilkan uang atau alasan lainnya yang beraroma materi. Namun, beberapa orang akan menganggap hal tersebut logis. Inilah yang disebut bounded rationality atau keterbatasan akal manusia dalam menilai sesuatu, bergantung pengetahuan yang ia miliki. Contoh peristiwa Isra dan Mi’raj [2], menurut Abu Bakar peristiwa tersebut masuk akal, bagi Abu Jahal itu mustahil.

Dalam ilmu ekonomi terdapat sepuluh hukum yang perlu dipelajari sebelum memasuki bab lain. Saya hanya akan menyebutkan beberapa saja, tidak semua. Mari kita melihat pengkaderan dalam perspektif ilmu ekonomi.


***

Pertama, “setiap orang menghadapi masalah trade off”, dan kedua, “orang akan bereaksi terhadap insentif”.[3]  
Setiap orang menghadapi masalah trade off atau tukar menukar kebutuhan. Kalimat “tidak ada yang gratis didunia ini” sepertinya cukup untuk menjelaskan bahwa untuk mendapatkan sesuatu kita harus menukarkan sesuatu. Jika ingin mendapatkan makanan, maka kita harus memiliki uang sebagai alat penukar.

Setiap Orang Menghadapi Masalah Trade Off.

Orang akan Bereaksi terhadap Insentif.

Organisasi membutuhkan kader baru untuk melakukan regenerasi agar organisasi dapat bertahan dalam persaingan. Seorang mahasiswa menjadi calon kader karena ingin mendapatkan sesuatu. Ada pertukaran kebutuhan diantara dua pihak. Jika tidak tak ada titik temu, maka masing-masing akan mencari yang lain. Hal tersebut sebenarnya masih bisa diatasi dengan negosiasi. Bergantung retorika pengurus yang mampu membujuk mahasiswa tersebut.

Dokumentasi Pribadi: Peskil PNUP 2014

Ketika seorang pengurus meminta calon kader meluangkan waktunya mengikuti rekrutmen yang diselenggarakan dalam beberapa tahap, apa yang akan diberikan agar ia rela merelakan waktu kosongya diganti dengan kegiatan yang belum tentu memuaskan keinginannya? Berlakulah prinsip ekonomi selanjutnya, “biaya adalah apa yang harus dikorbanan untuk memperoleh sesuatu.” 


Biaya Adalah Apa yang Harus Dikorbankan untuk Memperoleh Sesuatu

Beberapa kader akan berpikir bahwa fokus pada akademik adalah pilihan terbaik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Jika saya harus mengeluarkan biaya lebih dengan mengikuti kegiatan LDK, apa yang akan saya dapatkan nanti? Apakah akan menambah soft-skill saya? Atau menjadi network baru?

Apa yang harus dilakukan agar menemui win-win solution (sama-sama menang)? Solusi sederhana dan klise adalah sertifikat. Beberapa kampus, khususnya Politeknik, mewajibkan para mahasiswa mengikuti kegiatan organisasi agar mendapatkan sertifikat. Sertifikat tersebut memiliki nilai yang akan menjadi nilai ekstrakurikuler di ijazahnya. Jangan menunda memberikan sertifikat. Kecepatan layanan sebagai kesan pertama akan menjadi poin utama yang diingat calon kader.[4]

Bagaimana jika tidak dalam bentuk materi? Sediakan sesuatu yang mungkin sulit didapatkan diluar. Contohnya rasa kekeluargaan yang kental atau memberikan keahlian-keahlian tertentu yang urgen untuk dimiliki dan tidak dimiliki oleh organisasi lain.


Dalam Generic Strategy yang dikeluarkan oleh M. Porter[5], sebuah organisasi jika ingin menang dalam bersaing setidaknya ia harus fokus, diferensiasi (berbeda dengan yang lain), efesiensi pada biaya. Bagi organisasi seperti lembaga dakwah kampus, diferensiasi dan fokus menjadi pilihan utama. Jika ada dua organisasi memiliki spesifikasi yang sama, seseorang akan memilih organisasi yang lebih dekat secara emosional. Mendekati secara personal dan emosional, serta menciptakan perasaan "dalam kondisi yang sama" (misal sesama perantauan) cukup manjur digunakan.[6]

Selanjutnya adalah “orang yang rasional berpikir dengan konsep marginal.” Maksud dari hukum ini adalah keputusan dalam hidup tidak selamanya hitam atau putih, biasanya akan ada area abu-abu. Akan ada perubahan-perubahan kecil dalam sebuah keputusan yang diambil. Ketika seorang calon kader mengikuti kegiatan, dia akan memikirkan perubahan-perubahan kecil terhadap rencananya ketika bergabung bersama organisasi tersebut.

Sumber: zona554.blogspot.com

Mari kita berpikir sederhana, jika anda diminta untuk mengikuti sebuah organisasi, kira-kira apa untung ruginya? Tidak semua calon kader memahami bahwa mengikuti LDK - dengan segala kelebihan dan kekurangannya - adalah pilihan yang baik untuk dunia dan akhiratnya. Seorang pengurus perlu memahami bahwa tidak semua kader itu sama. Tidak akan pernah sama karena manusia itu unik. Kembali saya mengingatkan bahwa mereka datang dengan berbagai motivasi.

Jika setiap pengurus menilai semua tujuan kader itu sama, bersiaplah menghadapi masalah. Seorang murobbi atau pementor perlu mengidentifikasi dengan pendekatan-pendekatan emosional, untuk mengubah niat yang “bengkok” menjadi “lurus.”

 
Rasulullah pun memberikan tugas dan pendekatan yang berbeda-beda dalam berdakwah. Melihat Sirah Nabawiyah, pendekatan yang Rasul lakukan pada setiap kadernya berbeda-beda. Beda pendekatan antara pemuka Quraisy dengan masyarakat Badui, atau antara yang telah lama mengenal Islam dan yang baru mengenal Islam. Mengapa demikian? Karena setiap kader tidak sama, setiap kader akan tetap rasional.

Apabila organisasi kita biasa-biasa saja, tidak memiliki nilai tambah ketika bergabung didalamnya, lalu apa alasan kuat untuk bergabung? “Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama” pun tidak dapat menjamin kader dapat bertahan hingga akhir. Memaksa mereka yang tidak mengerti dengan kalimat, “Ini adalah jalan Allah, harus gabung disini” tidak selamanya manjur. Metode pendekatan itu perlu. Memaksa mereka justru dapat membuat mereka menjauh.

Semoga bermanfaat. Semoga Allah merahmati kita semua.


Jakarta, 13 Maret 2017



~Alza Maligana


_____________________
[1] Dalam KBBI, rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.[1] (http://kbbi.web.id/rasional.) Setiap orang memiliki keterbatasan yang berbeda-beda dalam mempertimbangkan sesuatu secara logis.

[2] Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Al Kautsar.

[3] N. Gregory Mankiw dkk. 2014. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi Asia. Jakarta: Salemba Empat.

[4] Sesuatu yang berkesan akan memberi nilai positif bagi organisasi. Kesan itu yang nantinya akan disebar secara gratis oleh calon kader. Hal ini dikenal dengan “Word of mouth” dalam dunia pemasaran.

[5] Fred R. David. 2009. Strategic Management: Concept and Cases. South Carolina.

[6] Asumsi ini saya bangun dari Teori Organisasi Neo Klasik yang dikeluarkan oleh Elton Mayo yang menjelaskan bahwa hubungan antar anggota menjadi bagian yang penting dalam organisasi. Lihat Pengantar Teori Organisasi, Suatu Pendekatan Makro oleh SB Hari Lubis dan Martani Huseini yang diterbitkan Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Tahun 2009.

Rabu, 01 Maret 2017

Mendidik Itu Tidak Mudah

Maret 01, 2017 Posted by Salam Fadillah Alzah , No comments
Malam kembali menyapa, tubuh mulai melemah setelah seharian beraktivitas dari kantor hingga kampus. Sekarang saya punya satu kebiasaan baru setiap malam, menunggu update komik di Webtoon. Haha. Akhir-akhir ini entah kenapa suka baca komik. Di Webtoon, ada satu komik yang menarik menurut saya, yakni “Inyong” yang menceritakan tentang seorang guru honorer. Point of view yang cukup menggelitik.

Komik “Inyong” edisi 1 Maret 2017 menceritakan tentang Inyong yang ditawari pekerjaan sebagai desainer dengan gaji sepuluh juta rupiah. Jelas jauh berbeda dengan gaji honorer yang mungkin hanya sekitar lima ratus atau tujuh ratus ribu rupiah. Tapi, Inyong memilih bertahan sebagai guru karena ada sesuatu yang tidak dapat dibeli dari profesinya itu. Inyong menutup dengan kalimat, “Inyong nggak bisa jauh dari anak-anak.”


Apa ini rasional? Bagi sebagian orang mungkin tidak rasional. Hal tersebut wajar karena setiap orang punya rasionalitas sendiri. Mari kita menyebutnya bounded rationality atau keterbatasan rasionalitas. Seseorang yang tidak pernah merasakan nikmatnya dunia mendidik mungkin akan berat memahaminya.


*** 

Kenikmatan mendidik adalah sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Setiap orang punya satu kebiasaan yang ia cintai, rela ia kerjakan walau kadang tidak dibayar. Atau, kita defenisikan saja sebagai hobi? Bahkan mungkin lebih dari itu. Ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, ada kenikmatan yang sulit diungkap dan kebanggaan tersendiri ketika anak didik mengerti dan mampu menerapkan apa yang diajarkan. Salam hormat saya untuk para pendidik.

Pikiran saya kembali menerawang, mengingat pesan dari salah satu dosen yang tidak jarang alur pikirannya berseberangan dengan apa yang saya pahami, tapi tetap saya hormati dan cintai, bapak Dr. Harbani Pasolong -semoga Allah menjaganya-, dengan dialek khasnya berkata;



“... Saya tidak mau sekedar mengajar, saya mau mendidik. Kalau sekedar mengajar, kamu paham atau tidak bukan urusan saya. Tapi sebagai pendidik, tanggung jawab saya besar. Inilah fungsi Kementerian Pendidikan, bukan Kementerian Pengajaran … ”


Beliau mengisyaratkan bahwa mendidik adalah hal yang sangat dalam, sementara mengajar tidak sedalam filosofi mendidik. Ada kontuinitas dan kesabaran didalamnya. Mengapa harus bersabar? Tidak semua peserta didik itu sama. Apa wajar mengukur kemampuan ikan dan gajah dengan satu indikator yang sama? Mustahil. Ini salah satu kegagalan dunia "pendidikan" di negara kita. Perlakukan murid sesuai dengan kemampuannya. Tidak semua dapat dengan mudah memahami, ada yang cepat dan ada pula yang lambat. Disinilah seninya. Disini pula nikmatnya terasa ketika sang murid berkata, “Saya paham sekarang. Terima kasih.”

Menjadi pendidik bukanlah pekerjaan mudah. Pendidik harus terus berinovasi dan mempelajari metode mendidik agar materi yang disampaikan mudah dipahami. Untuk apa pandai beretorika jika hal yang disampaikan justru menjadi sulit dicerna? Seseorang yang cerdas bukan yang lihai memilih kata yang menyihir tapi sulit dimengerti, tetapi seseorang yang menyampaikan sesuatu yang berat menjadi ringkas dan ringan untuk dipahami.

Pendidik perlu meluruskan niat bahwa mendidik bukan bertujuan untuk mendebat orang-orang bodoh atau menunjukkan taring kepada orang lain bahwa kita adalah satu diantara singa orator. Mendidik adalah cara membuka peradaban yang maju di masa yang akan datang yang sulit tercapai jika ikhlas tidak menjadi subtansi utama dan perjuangan menjadi bingkainya.




Mari saling menasehati dan mengingatkan bahwa mendidik itu pekerjaan mulia. Hidup adalah pilihan. Apapun profesi anda, mendidik adalah jalan juang kita memajukan bangsa ini. Mendidik bukan hanya pekerjaan para guru. Mendidik adalah tugas kita semua dengan segala jenis profesi yang kita dalami. Uang bukanlah satu-satunya pembakar semangat, cinta pada dunia pendidikan inilah yang penggerak utamanya. Mari berjuang. Mari memberi sumbangsi untuk agama, bangsa, dan negara.


Jakarta, 1 Maret 2017



 
~Alza Maligana