"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Selasa, 10 Oktober 2017

Membahasakan Mimpi

Oktober 10, 2017 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , 6 comments
Di suatu kesempatan istrahat siang bersama teman-teman kantor, aku termenung memikirkan masa depan yang entah akan seperti apa wujudnya. Pikiran entah kemana di tambah hiruk pikuknya Jakarta “Sang Megapolitan” dengan kebaikan dan kejahatan di kedua matanya.

Aku pun bertanya ke teman-teman untuk bertukar pikiran, “Kira-kira, sepuluh tahun ke depan kita jadi apa?” Teman menjawab santai, “Jadi mutant! Roar! ” Seketika kami tertawa lepas, “Mimpi macam apa itu? Kamu kebanyakan nonton The Avengers,” aku menimpali. “Bisa saja kan? Manusia karet mungkin?” tertawa kami berlanjut karena lelucon aneh itu.

*** 

“Bagaimana kamu membahasakan mimpi?” Pertanyaan ini sesekali aku gulirkan, sekadar diskusi dan saling bertukar gagasan. Sebagian mengatakan, “Aku ingin sukses”, “Aku ingin membahagiakan orang tua”, “Aku ingin berguna bagi agama, bangsa, dan negara.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cita-cita seperti itu. Namun, apakah kita tidak merasa mimpi seperti itu terlalu umum?

Bagaimana kamu membahasakan mimpi?

Untuk perbandingan, marilah kita menolehkan pandangan kepada para Salaf ash-Shaleh dalam mencita-citakan sesuatu. Pertama, lihatlah Umar bin Abdul Aziz – semoga Allah merahmati beliau –.

Telah masyhur dan mafhum dalam ribuan literatur bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah satu khalifah yang hebat dalam kepemimpinannya. Kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah dan lapisan masyarakat menjadi ciri khasnya. Apa saja cita-cita beliau? Di masa muda, beliau bercita-cita menikahi Fathimah binti Abdul Malik, wanita jelita, putri Abdul Malik bin Marwan. Terwujud. Beliau kembali bercita-cita dengan sesuatu yang lebih bergengsi; memimpin Madinah. Kembali terwujud.

Hari berganti hari, beliau bercita-cita ingin menjadi khalifah. Beliau kembali mewujudkannya. Selepas mendapatkan itu semua, mimpi beliau kemudian bertransformasi menjadi lebih agung, “Aku ingin masuk surga.”[1] Satu mimpi yang mustahil tercapai, kecuali dengan niat yang bulat dan usaha yang kuat. Apa beliau mewujudkan mimpi terakhirnya? Wallahu a’lam. Semoga Allah mengampuni Umar bin Abdul Aziz dan memasukkan beliau ke dalam surga-Nya.

Selain Umar bin Abdul Aziz, kita juga dapat meneguk hikmah dalam kisah Urwah bin Zubair, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan dalam bercita-cita. Semoga Allah merahmati mereka semua.

Suatu waktu di Baitul Haram, mereka berkumpul di sekitar rukun Yamani, membuka percakapan yang sederhana lalu menjadi serius. Abdullah bin Zubair bertutur tegas, “Cita-citaku menguasai seluruh daratan Hijaz dan menjadi khalifahnya.”

Tak mau kalah, Mush’ab bin Zubair berkata, “Keinginanku adalah menguasai dua wiilayah Irak dan tak ada yang mengganggu kekuasaanku.”

Selanjutnya, Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas hingga dapat menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Muawiyah bin Abu Sufyan.”

Bagaimana dengan Urwah bin Zubair? Beliau menjawab dengan kalam yang menyentuh;

“Semoga Allah memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunnah Nabi-Nya dan hukum-hukum agama-Nya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah.”[2] 

Matahari dan bulan berlarian membuka dan menutup hari, waktu menjawab apa yang mereka cita-citakan; Mush’ab bin Zubair menguasai dua wilayah Irak, Abdullah bin Zubair menguasai daratan Hijaz, Abdul Malik bin Marwan menjadi Khalifah, dan Urwah bin Zubair menjadi seorang yang ‘alim pada masanya.

*** 

Itulah segelintir contoh konkret dari para Salaf ash-Shaleh, mereka menjadikan cita-cita dalam bentuk yang spesifik. Mengapa? Agar semuanya terukur, agar apa yang dipersiapkan menjadi jelas, mantap kaki dilangkahkan pada suatu tujuan. Semuanya akan menjadi bias jika tujuan terlalu umum.

Ikhwan KAMUPI PNUP
Dokumentasi Pribadi : Akh Nursil Ardiansyah

Jika perlu, cita-cita jangan sekedar tumpukan kata yang terlontar dari lidah. Tuliskan cita-cita di atas kertas atau papan yang besar, misal, “Aku ingin jadi mahasiswa Universitas Indonesia di Fakultas Ekonomi Bisnis tahun ini !", atau "Lolos di Universitas Ummul Quro", atau "Menjadi hafiz yang mutqin 30 juz !". Coretlah satu per satu jika sudah tercapai.

Niatkanlah cita-cita karena Allah, sembari berprasangka baik kepada-Nya. Urusan dunia yang baik akan menjadi pahala jika kita meniatkannya untuk Allah, sebagaimana dalam hadits yang masyhur dari Umar ibn Khattab, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”.[3] Maka, jangan takut untuk bermimpi, jangan takut untuk melangkah. Jika bermimpi saja sudah begitu menakutkan, bagaimana mungkin hati digerakkan untuk mencapai mimpi? Suram.

Sepuluh tahun ke depan, kita akan jadi seperti apa?

Dokumentasi Pribadi
Jika nanti berkumpul santai bersama sahabat, cobalah sesekali berceletuk ringan, “Sepuluh tahun ke depan kita akan seperti apa?”. Jawablah dengan lugas lalu saling mendoakan, sebagaimana Urwah bin Zubair mendoakan saudara-saudaranya. Kita tidak tahu doa yang mana dan dari siapa yang Allah jawab. Jika memang baik, Allah akan berikan. Jika itu buruk, semoga Allah beri yang lebih baik sebagai penggantinya.


Semoga Allah merahmati dan mengampuni kita semua.


Jakarta Selatan, 09 Oktober 2017





~Alza
______________________

Referensi:

1. Ali Muhammad Ash-Shallabi, t.t, Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz, Darul Haq, Bekasi.

2. -----------, 2012, Urwah bin Zubair. Diperoleh 8 Oktober 2017, dari http://kisahmuslim.com/2792-urwah-bin-zubair.html

3. Adapun teks haditsnya sebagai berikut:

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-’Adawi radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. (HR. Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Dawud)

Lihat Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi, t.t., Riyadush Shalihin, Darul Haq, Bekasi.