"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Sabtu, 31 Desember 2016

Gara-gara Si Kancil

Desember 31, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , 2 comments
Semester satu telah selesai, semoga nilai aman-aman saja. Saya kembali mengingat materi-materi yang disampaikan oleh dosen, sembari menganalisis sederhana masalah-masalah politik dan administrasi publik yang ada di Indonesia.

Ketika sedang berpikir, saya melihat salah satu kartun yang sedang diputar di salah satu teve Islam. Kartun tersebut bercerita tentang singa kecil dan seekor rusa yang bersahabat. Entah tiba-tiba pikiran saya meloncat ke salah satu cerita fiksi andalan yang sering dikisahkan ketika kita masih kecil. Si Kancil ! Anak generasi tahun 90an insyaAllah tahu tentang Si Kancil.

Maaf pembahasannya kemana-mana, hehe. Saya ingin menceritakan apa yang disampaikan dosen saya, Prof. Roy V. Salomo, dalam salah satu sesi perkuliahan. Saat itu kelas sedang menyingung tentang aktor-aktor politik. Jadi, apa hubungannya Kancil dengan aktor politik?

Saat itu Prof. Roy bercerita, “Di negara-negara maju, seperti Finlandia, Jepang, Korea, sekolah dasar, kelas satu sampai tiga, lebih fokus bahas pendidikan moral. Beda dengan Indonesia, kelas satu sudah masuk materi (seperti matematika, bahasa, dan lain-lain).” Sekelas kita mengangguk.

Yang paling penting bagi seseorang yang berada dalam ranah politik adalah bukan hukum, tapi kode etik. Ini yang kurang dimiliki sebagian pejabat di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara seperti New Zealand, Korea, Jepang, yang memperhatikan kode etik saat berpolitik karena memang telah dibangun sejak lama dan sejak kecil. Kurang memperhatikan kode etik atau nilai moral dalam kehidupan akan membuat aktor politik selalu mencari celah-celah dalam hukum untuk melakukan kejahatan, baik itu kecil atau besar.

Beliau kembali melanjutkan, “Jadi, kenapa banyak politikus di Indonesia yang suka mencuri? saya curiga gara-gara Si Kancil. Kalian masih ingat nggak, dulu waktu kecil kita selalu diceritakan tentang si Kancil, mencuri itu hebat, luar biasa, menipu itu hebat. Jadi, kalau nggak mencuri atau nggak suka nipu ya nggak hebat, karena memang waktu kecil kita sering diceritain tentang itu kan?” Sekelas tertawa ketika Prof. Roy berkelakar seperti itu.

Jadi, apa memang gara-gara Si Kancil politikus kita jadi suka menipu dan mencuri? Tidak tahu. Haha. Simpulkan sendiri.


Jakarta, 31 Desember 2016



~Alza Maligana

Jumat, 30 Desember 2016

Learning Organization di Lembaga Dakwah Kampus

Desember 30, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , , 2 comments
Organisasi adalah sebuah wadah yang menyatukan berbagai individu untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Tanpa adanya tujuan yang jelas, organisasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik dan jelas. Lebih rinci SB Hari Lubis dan Martani Huseini menjelaskan bahwa organisasi adalah:

“Suatu kesatuan sosial dari sekelompok individu (orang), yang saling berinteraksi menurut suatu pola yang terstruktur dengan cara tertentu sehingga setiap anggota organisasi mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, dan sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu, dan juga mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga organisasi dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.”[1]

Bukan hanya tujuan yang ditekankan, bagaimana cara mengelola organisasi juga perlu diperhatikan.

***

Ada satu kelemahan beberapa LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di Makassar maupun di Baubau (tanah kelahiran saya) yang saya temui dan baru saya sadari sekarang. Apa itu? Lemah di Learning Organization. Wahyudi mengutip Senge[2] menjelaskan bahwa Learning Organization adalah organisasi yang tiada henti mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya. Untuk mencapai masa depan yang lebih baik, Learning Organization adalah suatu proses dimana organisasi berusaha mengolah pengetahuan yang ia miliki dari dalam maupun luar organisasi, untuk menjadi pengetahuan yang akan ia gunakan untuk terus berkembang.

Ibaratnya organisasi adalah “manusia”, ia butuh belajar agar dapat bertahan menghadapi persaingan atau masalah yang datang dari dalam maupun luar organisasi. InsyaAllah saya akan menjelaskan beberapa bagian saja dari Learning Organization yang dapat digunakan di lembaga dakwah kampus.

Sebelum membahas tentang Learning Organization, saya ingin membahas tentang pengetahuan. Pengetahuan itu apa? Saya mengutip apa yang dijelaskan oleh Nonaka dan Takeuchi[3] bahwa pengetahuan itu terbagi dua, yakni tacit knowledge dan explicit knowledge.

Pertama, tacit knowledge, yakni pengetahuan yang tidak didapat dijelaskan, sulit untuk diterjemahkan dalam kata-kata, tapi dapat ditunjukkan dalam bentuk praktek. Contoh, bagaimana anda menjelaskan cara menyeimbangkan sepeda ketika anda mengendarainya?

Kedua, explicit knowledge, yakni pengetahuan yang dapat dijelaskan melalui kata-kata, seperti teori, hukum-hukum, defenisi, atau hal lain yang telah jelas maksudnya dan diterangkan dalam sebuah kalimat.

***

Setiap individu dalam organisasi, baik itu anggota lama atau pun yang baru masuk, pasti memiliki pengalaman, kecerdasan, dan pemahaman yang berbeda-beda. Pengalaman dan pemahaman inilah yang turut memberi corak pengetahuan bagaimana mengelola organisasi. Ada yang memandang perlunya bersikap otoriter, ada yang cenderung luwes, ada yang pandai bernegosiasi, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki pengetahuan tersendiri yang ia bawa ke dalam organisasi, yang akan menjadi aset berharga untuk organisasi itu sendiri.

Tapi, sampai mana pimpinan organisasi menyadarinya? Banyak pimpinan organisasi tidak menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki anggota-anggotanya sebagai “sesuatu” yang perlu untuk dipelihara, dijaga, diarsipkan, diolah, hingga dibagikan kembali kepada anggota lainnya.

Untuk memudahkan (semoga, saya berharap demikian), saya mengambil contoh yang akan kembali saya gunakan dipenjelasan selanjutnya. Mari kita mengambil contoh fiktif La Makida selaku Koordinator Departemen Dakwah di LDK Al-Fatih di Politeknik Negeri Kendari.

La Makida adalah salah satu pengurus yang sangat lihai dalam negosiasi dan retorika. Suatu saat ia membuat sebuah kegiatan, tetapi birokrat kampus melarang. La Makida kemudian menghadap ke Asisten Direktur 3 untuk melakukan negosiasi. Hasilnya? Kegiatan diizinkan dan difasilitasi oleh kampus.

Anggota-anggota La Makida dari Departemen Dakwah bertanya-tanya, “Kok bisa kamu lihai bicara seperti itu? Kami malah pesimis kegiatan diizinkan Asdir 3”, La Makida menjawab, “Ah, gimana cara menjelaskannya ya?”. La Makida kemudian mencoba menjelaskan tapi sulit diungkapkan melalui kalimat, anggota-anggotanya pun sulit memahaminya. La Makida hanya bisa menjelaskan dengan praktek. Kemampuan La Makida dalam negosiasi dan retorika inilah disebut tacit knowledge.

Jadi, bagaimana caranya agar kemampuan La Makida ini dapat pula dipakai oleh anggota yang lain, bahkan hingga anggota penerus di periode selanjutnya? Perhatikan gambar dibawah:


(sumber: http://www.eit.edu.au/)

Pertama, dari tacit ke tacit. Apa yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan adalah praktek, observasi, diskusi, pertemuan, atau kegiatan lainnya yang mengharuskan si pemiliki pengetahuan menjelaskan dengan praktek, bukan sekedar tulisan.
Kita kembali mengambil contoh La Makida. Ketika pengurus LDK Al-Fatih yang lain ingin belajar tentang bagaimana cara bernegosiasi, maka dia harus menunjukkannya secara langsung bagaimana caranya. La Makida tidak dapat menjelaskannya keseluruhan dan anggota-anggotanya pun akan kesulitan untuk memahaminya jika tidak melihatnya secara langsung. Learning by doing! Kemampuan anggota yang lain memahami berbeda-beda, ada yang cepat menanggapi, ada pula yang lamban karena masing-masing memiliki metode sendiri dalam belajar.

Kedua, dari tacit ke explicit, yakni berusaha menuliskannya dalam bentuk kata-kata. Akan terasa berat pastinya, oleh karena itu dibuat dalam bentuk laporan.

La Makida berusaha menuliskan langkah-langkah bagaimana melakukan negosiasi yang baik dalam bentuk poin-poin atau penjelasan sederhana. Tulisan itu akan dipelajari oleh pimpinan organisasi atau bidang yang bersangkutan, dan perlahan-lahan disusun agar menjadi lebih terstruktur. Pemimpin organisasi juga perlu meminta La Makida agar mengajarkannya kepada anggota-anggota yang lain (dikolaborasikan dengan tacit to tacit).

Ketiga, dari explicit ke tacit, yakni dari pengetahuan yang tertuang dalam kalimat dan jelas maknanya menjadi pengetahuan yang ada didalam kepala, dipahami, akan tetapi sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Laporan-laporan La Makida telah dibuat, dan pimpinan organisasi telah berusaha mengolahnya menjadi sebuah modul atau buku sederhana tentang bagaimana negosiasi yang jitu yang dapat dilakukan mahasiswa dalam berorganisasi. Tentunya telah disesuaikan dengan budaya organisasi tersebut.

Ketika angggota lainnya membaca dan memahaminya, kemudian dapat mempraktekannya, disinilah terjadi proses explicit ke tacit. Anggota yang baru masuk atau anggota yang menjabat di periode ke depannya akan mempelajari buku panduan tersebut sehingga tacit knowledge yang dimiliki La Makida tidak hilang begitu saja.

Keempat, dari explicit ke explicit, yakni mengumpulkan semua informasi, mengoleksinya, menyimpannya, dan membagikannya kepada yang lain.

Ketika Koordinator Dakwah di LDK Al Fatih Poltek Kendari bukan lagi La Makida karena telah selesai masa jabatannya, jangan sampai organisasi harus memulai semua kembali dari awal, sementara solusi atas masalah tertentu sebenarnya telah ada dan manjur, akan tetapi menguap begitu saja karena anggota yang mampu mengatasi masalah tersebut telah keluar atau meninggalkan organisasi tersebut karena masa kuliahnya telah selesai, wafat, dan lain-lain.

Begitu banyak tacit knowledge yang dimiliki anggota organisasi tapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya apa? Ketika anggota yang memiliki potensi dan pengetahuan tersebut hilang, maka hilang pula pengetahuan yang ia miliki. Selanjutnya, organisasi seperti berjalan ditempat, mengulangi kesalahan yang sama disetiap periodenya. Rugi? Anda dapat menjawabnya sendiri.

***

Ilustrasi
Sebaiknya lembaga dakwah kampus mulai memperhatikan pengetahuan sebagai sebuah aset. Catat, himpun, bagikan, dan jelaskan ke anggota-anggota baru dalam bentuk rapat, pelatihan-pelatihan, diskusi, atau dalam bentuk lainnya agar terjadi transfer informasi antar anggota. 

Sangat keliru asumsi bahwa apa yang diterapkan di LDK yang besar akan sukses pula diterapkan di LDK yang sedang dalam masa pertumbuhan. Learning Organization diperlukan agar pengetahuan-pengetahuan tersebut disesuaikan dengan budaya dan kondisi organisasi yang bersangkutan. Mengadaptasi, bukan mengadopsi. Menyesuaikan dengan kondisi organisasi, jangan menjiplak mentah-mentah.[4]

Bahkan kalau perlu, hal-hal yang teknis mengenai bagaimana mengatur jalannya sebuah kegiatan -mulai dari persiapan hingga evaluasi- perlu dibuatkan. Contoh sederhana adalah standar operasional prosedur atau buku panduan.

Beberapa teman-teman dari LDK tidak punya acuan dalam membuat sebuah kegiatan. Akibatnya, harus menjelaskan lagi dari awal. Ketika masuk anggota baru di periode yang baru pula, harus dimulai lagi dari awal. Padahal, jika informasi sederhana seperti tata cara membuat kegiatan sebagai hasil dari Learning Organization dibuat, maka itu menjadi batu loncatan selanjutnya agar organisasi tersebut dapat melangkah ke tahap selanjutnya, tidak berjalan ditempat; ketika masuk periode baru, memulai lagi dari awal, masuk periode baru, memulai lagi dari awal. Menghabiskan waktu dan lamban dalam perubahan.

SOP atau buku panduan yang bersifat umum ataupun khusus tersebut akan terus direvisi jika dibutuhkan karena mengikuti kondisi lingkungan sekitar yang dinamis dan tidak berhenti berubah. Organisasi adalah sebuah wadah yang akan terus terpengaruh oleh lingkungan. SOP hanyalah contoh sederhana, kita dapat menggunakan prinsip Learning Organization dalam bentuk lain dalam ranah pengambilan keputusan.

Semoga lembaga dakwah kampus yang berhaluan ahlus sunnah di seluruh Indonesia dapat berkembang dan bersinergi dengan baik.


Jakarta Selatan, 30 Desember 2016




~Alza Maligana


_______________________


[1] SB Hari Lubis dan Martani Huseini. 2009. Pengantar Teori Organisasi, Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
[2] Andreo Wahyudi. 2011. Dinamika Knowing Organization. Jakarta: Yayasan Ragi Anak Bangsa.
[3] M. Syamsul Maarif dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Produksi. Jakarta: Grasindo.
[4] Ada fenomena aneh yang sering kita temui dalam berorganisasi, yakni ketika melihat suatu organisasi sukses dengan metode tertentu, maka organisasi yang lain akan mengikuti metode yagn sama. Padahal kondisi internal dan eksternal organisasi jelas berbeda.

Senin, 12 Desember 2016

Gak Usah Banyak Teori !

Desember 12, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , 2 comments
Di salah satu grup WhatsApp, salah seorang teman kami membagikan sebuah cerita tentang masalah yang dihadapi ummat Islam saat ini. Kemudian muncul satu komentar, “Intinya, mari kurangi berteori !”

Di beberapa kesempatan lain ketika berdiskusi, saya sering mencoba membangun opini dari teori yang dikeluarkan oleh para ahli yang telah disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Mengapa harus menyesuaikan kondisi dan lokasi? Teori tidak dapat berlaku di semua kondisi dan lokasi, karena itulah ia disebut teori. Jika berlaku disemua kondisi dan lokasi, maka ia menjadi Hukum atau Asas, misal Hukum Archimedes.

Yang perlu diketahui, teori tidak muncul begitu saja, ada banyak proses dan tahapan yang harus dilalui agar sebuah asumsi atau perkiraan yang dibangun dari sebuah fakta untuk menjadi teori. Dibawah ini kami sertakan bagan bagaimana teori itu terbentuk.



Apa itu teori? Sederhananya, teori adalah pengetahuan ilmiah yang berulang terjadi, kebenarannya telah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, pengujian atas kebenarannya telah dilakukan melalui metode keilmuan.

Contoh, seorang pimpinan perusahaan memiliki asumsi bahwa jika insentif karyawan ditambah, maka produktivitasnya juga bertambah. Menurutnya, manusia itu rasional, “Kamu bayar lebih, saya akan bekerja lebih dari biasanya.” Kemudian pimpinan melakukan trial error atau uji coba. Berkali-kali di coba secara ilmiah dan ternyata berhasil.

Inilah contoh bagaimana teori itu terbangun. Diawali oleh sebuah asumsi-asumsi, dilakukan uji coba berulang-ulang dan ilmiah, lalu asumsi yang dibangun terbukti benar, jadilah ia teori. Jika ternyata asumsi yang dibangun tidak terbukti, maka ia hanya menjadi pernyataan dan bukan teori. Jika anda membaca tentang teori organisasi, contoh yang kami kemukakan ini adalah Teori Organisasi Klasik oleh Taylor, Sang Bapak Manajemen.

Namun, teori adalah sesuatu yang tidak dapat berlaku di semua kondisi. Seperti contoh Teori Organisasi Klasik yang kami berikan diatas, teori tersebut terkadang tidak berlaku pada situasi tertentu. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja, bukan hanya uang. Sebagai koreksi atas teori Organisasi Klasik dari Frederick W. Taylor, muncul teori Human Relation dari Elton Mayo yang mengungkapkan bahwa hubungan antar manusia juga perlu diperhatikan dalam mengatur organisasi. Manusia satu dengan yang lainnya saling terhubung, uang bukanlah satu-satunya penggerak seseorang untuk meningkatkan kualitas kerjanya.

***

Sebagai penutup, hal yang kurang dipahami oleh sebagian orang bahwa ketika berpendapat atau menyelesaikan masalah kita butuh teori dasar untuk memperkuat opini kita. Kita butuh pondasi untuk menjelaskan asumsi kita agar tidak “tong kosong nyaring bunyinya”.

Teori tidak muncul begitu saja, ia butuh pembuktian yang panjang dan ilmiah. Oleh karena itu, berhentilah mengatakan, “Kamu terlalu banyak teori !” Teori telah dibuktikan kebenarannya, sementara asumsi-asumsi kita hanyalah opini-opini biasa yang terbatas dan belum tentu terbukti kebenarannya.

Lalu, bagaimana jika ternyata teori yang dibangun oleh ahli berseberangan dengan Quran dan Sunnah. Saya pribadi memilih Quran dan Sunnah, mengingat statement yang dikeluarkan oleh dr. Zakir Abdul Karim Naik dalam salah satu sesi ceramahnya,

“...bukan al Quran yang mengikuti ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan lah yang mengikuti al Quran…” 

Ada banyak teori-teori yang dikeluarkan oleh para ahli yang selalu sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Cocoklogi? Entahlah, terserah menamai apa. Tapi apakah wajar sebuah kitab yang diturunkan di tanah yang tandus dan penerimanya adalah seorang buta huruf selalu sesuai dengan ilmu pengetahuan modern. Ini selalu mengusik pikiran saya, dan saya harus bangga menjadi seorang muslim.


Jakarta Selatan, 12 Desember 2016



~Alza Maligana


________________

Sumber:

  • Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi
  • SB Hari Lubis dan Martani Huseini, Pengantar Teori Organisasi; Suatu Pendekatan Makro

Selasa, 13 September 2016

Ku Cantumkan Ode di Depan Namaku, Haruskah?

September 13, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , 8 comments
Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri dalam memberi nama dan gelar untuk membedakan status sosialnya. Misalnya, Makassar dan Bugis dengan gelar Opu, Daeng, Karaeng, Arung, Bau’, atau Puang. Di Jawa malah lebih ribet lagi. Adapun di Buton, sistem seperti itu juga ada, yakni La Ode untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan.

Awalnya gelar ode hanya diberikan kepada sultan terpilih, kemudian Siolimbona atau Dewan Adat selaku salah satu penentu kebijakan memutuskan untuk memberikan hak kepada keturunan sultan untuk menyematkan gelar ode di depan namanya. Tujuannya adalah untuk pengidentifikasian keturunan-keturunan sultan yang memiliki kompetensi dan jiwa kepemimpinan di kemudian hari, walaupun pemilihan sultan di Buton dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat, bukan tahta yang diberikan secara turun temurun seperti kerajaan lain.

Cara untuk memperoleh gelar ode ada dua. Pertama, gelar tersebut didapatkan jika ayahnya seorang ode. Jika sang ayah adalah seorang ode dan ibunya bukan dari kalangan ode, maka sang anak akan tetap menyandang gelar ode. Akan tetapi, jika sang ayah bukan dari kalangan ode dan sang ibu menyandang gelar ode, maka secara otomatis anak-anak mereka tidak berhak menyandang gelar ode.

Kedua, gelar tersebut adalah pemberian dari pemerintahan kesultanan karena telah memberikan sesuatu yang sangat bermanfaat untuk kesultanan, baik dalam bentuk materi atau non materi. Contohnya seperti Sultan Murhum dari daratan Muna yang mendapatkan gelar ode dari Kesultanan Buton kemudian diangkat menjadi sultan karena mengalahkan La Bolontio, Sang Bajak Laut Bermata Satu.

Bagaimana penjelasan asal mula kata ode? Entahlah, saya bingung menjelaskan. Saya tidak berani mencantumkan karena masing-masing berbeda versi dan beberapa terkadang mengada-ada. Atau mungkin itu hasil filsafat yang begitu dalam? Sekali lagi, entah.

Namun nalar ini sedikit terkilir, untuk apa gelar itu? Haruskah disematkan?

Di kartu keluarga, nama saya jelas tidak tercantum gelar ode, begitupun ayah saya. Kakek saya juga tidak tercantum gelar ode di depan namanya. Padahal, buyut saya seorang ode, beliau bernama La Ode Juma. Karena buyut saya seorang ode, otomatis kakek saya pun seorang ode. Nenek saya pun ode, Wa Ode Habibah namanya. Jika ingin membubuhkan gelar ode depan nama saya, maka itu tidak menjadi masalah.

Kenapa kakek saya menyembunyikan gelar itu? Secara jelas, saya tidak tahu mengapa. Tapi belakangan saya dapati, ada beberapa yang menyembunyikan gelar ode-nya, bukan hanya kakek saya. Gelar ode itu bertalian dengan tanggung jawab yang sangat berat di punggung pemilik gelar karena sejatinya ia menjadi teladan di masyarakat.




Sekarang seseorang bergelar ode atau bukan perlahan tidak lagi menjadi masalah. Tolak ukur masa kini adalah pendidikan. Sekalipun ia dari golongan kasta bawah*, tapi pendidikannya lebih baik dari sebagian ode, maka gelar hanya sekedar gelar. Persaingan terbaik sedari dulu hingga sekarang adalah pendidikan.

Sebenarnya saya mulai tidak terlalu memusingkan gelar itu, biarlah tetap tersembunyi. Hanya saja, saya mulai gerah pada sebagian orang yang bergelar ode tapi tidak memberikan contoh yang baik kepada orang lain. Terlalu sibuk berbangga-bangga dengan leluhurnya tanpa usaha memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar. Tak perlu berlebihan, secara nasab memang kita menjadi baik, tapi kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan suatu saat tidak akan bermanfaat bagi kita.

Kehidupan leluhur kita adalah kehidupan mereka, kehidupan kita adalah kehidupan kita. Jika leluhur kita adalah satu di antara manusia-manusia baik yang Allah turunkan di masa lalu, maka itu menjadi poin pelengkap, bukan utama. Untuk apa gelar kebangsawanan tersemat jika kita bertolak belakang dengan kearifan leluhur? Bahkan, bagai bumi dan langit? Jauh!

Apa saya merasa diri lebih baik dari yang lain? Tidak, tidak seperti itu maksud tulisan ini. Obyek kritikan saya adalah para penyandang gelar ode yang berkelakuan buruk. Namun, tidak semua ode itu buruk. Fatal jika saya mengatakan semua ode itu buruk. Banyak para ode yang saya dapati memiliki pribadi yang sangat baik dengan wibawa yang besar.

Terakhir, gelar kebangsawanan hanya akan menjadi deretan huruf sekasta debu nan nihil makna jika tidak diiringi dengan kebaikan budi dan teladan yang baik. Selebihnya, mari berkarya untuk negeri. Gelar hanyalah gelar, tak akan berarti jika tanpa pembuktian bahwa kita pantas menyandang gelar tersebut. Seharusnya kita malu jika ode tersemat di depan nama, tapi sikap dan sifat tak mencerminkan seorang ode.


Jakarta Selatan, 13 September 2016




~Alza Maligana

__________


* Di Buton terdapat tiga kasta, yakni dua kalangan atas; Walaka dan Kaomu. Kedua kasta ini adalah para bangsawan, mereka menyandang gelar ode. Adapun kasta terendah adalah papara, yakni budak. Di Baubau sendiri masih keturunan papara masih banyak, tapi mereka mulai menunjukkan eksistensi dengan memperbaiki diri dan bersaing terbuka lewat pendidikan.

Jumat, 02 September 2016

Belajar Itu Butuh Waktu

September 02, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Di suatu liqo’ tarbiyah, seorang teman bercerita tentang seleksi liqo’ tahsin (program memperbaiki bacaan al-Qur’an) dan tahfizh (menghafal al-Qur’an). Ia kurang menerima ketika ia tidak diizinkan mengikuti kelas tahfizh dan harus fokus pada tahsin dahulu.

Kejadian seperti ini pernah saya temui beberapa tahun lalu, seorang junior kurang menerima ketika tidak diizinkan mengikuti kelas tahfizh (menghafal). Penyebabnya adalah nilai yang belum memenuhi standar.

Dari pengalaman, saya pribadi lebih menganjurkan untuk fokus mempelajari tajwid terlebih dahulu, lalu mengikuti kelas tahfizh. Jika ada yang punya opini tersendiri, tak mengapa, celoteh kali ini adalah mengenai metode saja, bukan hal yang mendasar.



Mengapa lebih baik memperbaiki tajwid dahulu kemudian kelas tahfizh?

Kenikmatan membaca al-Qur’an benar-benar terasa ketika kita mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, walaupun belum sempurna seutuhnya.


Jika langsung melompat ke kelas tahfizh, sementara pada beberapa hukum tajwid, seperti penyebutan huruf-huruf yang mirip (seperti zain dan dzal, qof dan kaf, ha tebal dan ha tipis, dan lain-lain) belum sanggup dibedakan, maka akan menyulitkan si penghafal dikemudian hari. Bagaimana lagi jika tidak mengerti Bahasa Arab? Malah menjadi masalah baru karena bisa merusak makna bacaan.

Ketika Murobbi atau Mudarris (pengajar) mengatakan lebih baik fokus dahulu mempelajari tajwid, hal tersebut disampaikan karena ia lebih mengetahui kapasitas kita. Itulah fungsi seorang guru. Sayangnya, sebagian murid justru merasa lebih tahu kapasitas dirinya sendiri dibanding sang guru yang mengikuti perkembangannya.

Saran saya, dengarkanlah kata guru. Jika memang belum direkomendasikan untuk mengikuti kelas menghafal, maka lebih baik ikuti. Seorang guru lebih paham kemampuan kita dibanding diri kita sendiri. Sebagian murid yang bersikeras ingin tetap naik ke kelas menghafal walaupun belum dianjurkan dapat merugikan dirinya sendiri. Imam Syafii mengabarkan kepada kita dalam sebuah nasehatnya:


"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”

Banyak pelajar yang mengabaikan poin ke enam nasehat dari Imam Syafii tersebut, yakni terburu-buru, mau cepat, praktis, tidak susah, kemudian mengharapkan hasil yang maksimal. Intinya tidak sabar.

Jika ingin mendapatkan yang terbaik, maka sabar dalam menuntut ilmu. Ilmu tajwid tidak bisa dipelajari secara otodidak dan terburu-buru. Kita butuh guru yang mengajari kita secara bertahap dan kontinu. Bersabar menjadi kunci utama, setelah berdoa kepada Allah dan berusaha maksimal. Semoga Allah memberikan dan menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita.
Wallahu a'lam.


Jakarta, 2 September 2016



~Alza Maligana

Selasa, 30 Agustus 2016

HOS Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa

Agustus 30, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , No comments
Di awal bulan lalu saya berjalan-jalan di Gramedia Pejaten Village Mall, mencuci mata dengan buku-buku yang duduk centil di rak masing-masing. Toko buku itu seperti Surga Dunia. Lalu mata saya melihat salah satu buku menarik; Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa. Melalui tulisan ini, saya akan sampaikan kesimpulan dari apa yang saya baca (walau baru sekali, hehe) dengan tambahan sedikit opini. Semoga bermanfaat.


***

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang Guru Pendiri Bangsa kelahiran Bakur, Madiun, 16 Agustus 1882.

Beliau adalah seorang guru yang sangat berwibawa, cerdas, sangar, dingin, senang berdiskusi hingga menghasilkan banyak murid yang akan mewarnai sejarah Indonesia. Murid-murid beliau antara lain Agoes Salim, Soekarno, Buya Hamka, Kartosuwiryo, Semaoen, Muso, Alimin, Tan Malaka, dan lain-lain.

Sarekat Islam adalah organisasi besar yang terorganisasi dengan baik, profesional, dan sistematis, transformasi dari Sarekat Dagang Islam setelah diambil alih oleh HOS Tjokroaminoto.

Beliau dicintai oleh kaum muslimin dimasanya karena beragama Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam disetiap langkah dan keputusan yang ia ambil.

Ia adalah seorang pribadi yang mengkritik feodalisme (KBBI: sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja). Sebagai salah satu pembuktian, ia lepas gelar raden terpaut didepan namanya, dan terbuka pada siapa yang ingin bergabung dengannya, walaupun dari masyarakat “kasta rendah”. Jika diingat-ingat, sosok seperti ini bukan hanya dimiliki HOS Tjokroaminoto, Raden Ajeng Kartini juga pernah mengkritisi sikap feodal dalam surat-suratnya yang disatukan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Keterbukan HOS Tjokroaminoto dalam menerima anggota dari kalangan manapun menjadi salah satu alasan mengapa Sarekat Islam cepat pertumbuhan jumlah kadernya.

Ia dijuluki “Ratu Adil” karena usaha-usahanya memperjuangkan hak rakyat Indonesia. Namanya dikait-kaitkan dengan Ramalan Jayabaya. Dengan kecakapannya dalam berorganisasi dan empatinya yang tinggi terhadap penderitaan rakyat kecil (yang ia dapatkan ketika menjadi buruh), ia tampil membela rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Rakyat Jawa yang memegang budaya kejawen semakin jatuh hati pada beliau karena kepeduliannya kepada kesengsaraan bangsa. Jadilah ia Sang Ratu Adil, dieluk-elukkan, dirindu, dicinta, bahkan hampir setingkat kultus. Ketika Tjokro mulai risih, ia meminta agar rakyat tidak terlalu berlebihan cintanya kepada beliau. Apa yang terjadi? Rakyat Indonesia, khususnya penganut kejawen, semakin tergila-gila.

Ia dijuluki pula Raja Tanpa Mahkota oleh Belanda karena kemampuannya mempengaruhi rakyat. Ia tidak memiliki jabatan di pemerintahan Hindia Belanda, tapi kemampuannya berorganisasi cukup kuat mempengaruhi rakyat Indonesia pada saat itu. Ia juga melakukan pengkaderan terhadap murid-muridnya, walaupun nanti masing-masing dari muridnya memiliki pandangan sendiri dalam hal politik. Sarekat Islam mudah dan cepat berkembang karena mengikuti alur permainan yang ditetapkan oleh Belanda.

HOS Tjokroaminoto memainkan tiga hal dalam berorganisasi, yakni mengorganisasi massa dengan rapat umum, menyihir rakyat dengan orasi, dan meluaskan resonansi opini maupun pengaruhnya melalui media massa. Beliau lihai, pikirannya cemerlang, memanfaatkan celah-celah peraturan yang dibuat oleh Belanda untuk memuluskan perjalanannya mengangkat martabat bangsa Indonesia dari status “budak”, seperempat manusia, hingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam salah satu pidatonya ia berkata:


“Tidaklah wajar melihat bangsa Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya.”


Ada satu hal yang membuat saya tersenyum, yakni cikal bakal Sarekat Islam. Siapa sangka Sarekat Islam ini ternyata lahir dari sekumpulan orang yang bertugas untuk ronda tiap malamnya, yakni Resko Roemekso, tugasnya adalah menjaga sebuah pabrik pembuatan batik agar tidak hilang di curi di jemuran.

Perlahan organisasi ini mulai membesar hingga menjadi salah satu organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya kemerdekaan Indonesia. Banyak hal-hal yang kelihatannya kecil, tapi membawa dampak yang sangat besar di kemudian hari, seperti Rekso Roemekso yang tugasnya hanya menjaga jemuran berubah menjadi Sarekat Islam yang menjaga dan memperjuangkan harga diri bangsa.

Menurut saya, HOS Tjokroaminoto bukanlah seorang ulama, melainkan cendekiawan. Ilmu agama diperolehnya dari buku-buku Belanda dan hampir semua ilmu agama beliau didapatkan secara otodidak. Oleh karena itu, ketika beliau menghadiri sebuah pertemuan di Arab Saudi, beliau tidak dianggap sebagai ulama.  Pemahaman beliau adalah Islam Sosialis. Beliau adalah pribadi yang sengmengunjungi ulama daerah sekitar untuk berdiskusi. Ini salah satu poin kelebihan beliau; senang mengunjungi orang yang berilmu, seperti kunjungan beliau ke rumah Kiai Abdullah Anshor di Wonosobo, Jawa Tengah.

Usaha beliau untuk memperjuangankan kemerdekaan bangsa bukan berarti tanpa masalah. Politik adalah arena yang sangat kondusif untuk saling menjatuhkan demi sebuah kekuasaan. Tipu muslihat menjadi sah-sah saja. Ketika Sarekat Islam mulai berkembang pesat, perselisihan paham mulai terjadi, secara khusus dengan Semaoen. Namun perlahan tapi pasti, Tjokroaminoto mampu memimpin kembali. Masalah kembali muncul ketika hadirnya Sarekat Islam Merah yang haluannya ke komunis, tapi kembali bisa di redam oleh beliau.

Penggerak dan pemberi corak sejarah Indonesia adalah murid-murid beliau. Setelah melewati perenungan dalam tentang arah politik masing-masing, murid-murid HOS Tjokroaminoto saling berbeda pandangan, hingga Anhar Gonggong mengatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah tragedi sejarah.

Semoga Allah merahmati beliau.

Jakarta Selatan, 30 Agustus 2016



~Alza Maligana

Senin, 29 Agustus 2016

Surat ala Nabi Sulaiman 'Alaihissalaam

Agustus 29, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , No comments
Di suatu sore tahun lalu, aura berubah menjadi gugup ketika direktur meminta saya menjadi host di program Manajemen Syariah di salah satu stasiun televisi Islam. Tidak tanggung-tanggung, pematerinya adalah salah satu akademisi idola saya, yakni Ustadz Hendri Tanjung, Ph.D -semoga Allah menjaganya-. Beliau adalah dosen di Universitas Ibnu Khaldun Bogor.



Pembahasan yang diangkat saat itu adalah tentang bagaimana manajemen yang dimainkan oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam dalam mengatur sebuah kerajaan adidaya yang dipimpinnya. Pembahasan semakin menarik ketika beliau menjelaskan tentang surat yang dibawa burung Hud-hud ke kerajaan Ratu Bilqis.

Di tulisan kali ini saya sarikan saja poin-poin yang Ust. Hendri Tanjung sampaikan. Saya lebih fokus mengomentari sisi administrasinya, bukan sisi syariatnya.

***

Menurut KBBI, surat adalah kertas dan sebagainya yang bertulis (berbagai-bagai isi, maksudnya). Adapun struktur surat adalah sebagai berikut:
  1. Kepala surat;
  2. Tempat dan tanggal surat;
  3. Nomor surat;
  4. Lampiran;
  5. Hal;
  6. Alamat dalam;
  7. Salam pembuka;
  8. Isi surat;
  9. Salam penutup;
  10. Nama jelas pengirim dan tanda tangan;
  11. Tembusan.
Secara umum, demikianlah struktur surat yang digunakan pada saat ini. Setiap organisasi memiliki aturan persuratan tersendiri, namun tetap mengikuti kaidah-kaidah umum.

Lalu bagaimana struktur surat ala Nabi Sulaiman?

Ustadz Hendri Tanjung menyebutkan firman Allah yang menceritakan tentang Nabi Sulaiman dalam surah An-Naml ayat 29-31:

“Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.”

“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

“‘Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Jika dilihat secara tekstual, struktur surat Nabi Sulaiman terdiri dari; pengirim, salam pembuka, dan isi.

Saya tidak mengetahui bagaimana susunannya secara persis. Seingat saya, Ust. Hendri Tanjung tidak memberikan penjelasan rinci seperti apa susunannya karena memang di sesi itu surat atau persuratan bukanlah inti pembahasan. Hal ini tetap saya angkat pada tulisan kali ini karena sedari dulu selalu menggelitik pikiran.

Hipotesis apa yang bisa diambil?

Hal ini menunjukkan bahwa surat sebagai alat komunikasi tertulis telah lama ada dan tua usianya, kemudian mengalami modifikasi sedemikian rupa mengikuti perkembangan peradaban manusia.

Surat yang dibuat oleh Nabi Sulaiman sangat singkat padat dan jelas, memenuhi syarat dasar sebuah surat, yakni efektivitas dan efesiensi. Peter F. Drucker mengatakan bahwa efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things), sedangkan efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right).

Mengapa efektivitas dan efesiensi penggunaan kalimat dalam persuratan sangat diperlukan?
Alasannya adalah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi tertulis, dan ukuran kertas yang tidak dapat memuat seluruh pesan yang ingin disampaikan oleh si pengirim. Oleh karena itu, isi pesan sedapat mungkin disampaikan secara to the point atau ringkas tanpa mengubah inti penyampaian.

Lalu, kenapa persuratan masa kini semakin banyak bagiannya?
Hal tersebut mungkin saja terjadi karena berubah seiring perkembangan peradaban manusia. Inilah ciri ilmu sosial yang terus mengikuti pola perkembangan manusia yang sangat beragam motif, tindakan, budaya, dan variabel-variabel lain yang melekat padanya. Persuratan adalah bagian dari ilmu administrasi, dan ilmu administrasi lahir adalah ilmu sosial dan politik, dan prosesnya dapat dilihat dalam manajemen.

Apa hal ini menjadi polemik dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim?
Hal ini tak perlu dipermasalahkan karena ini adalah perkara muamalah, sebagaimana yang dipahami bahwa perkara muamalah hukumnya mubah atau boleh, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.


Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan:

“Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “Hukum asal adat adalah boleh, tidak kita katakan wajib, tidak pula haram. Hukum boleh bisa dipalingkan ke hukum lainnya jika (1) ada dalil yang memerintah, (2) ada dalil yang melarang.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyyah, hal. 88).”

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

“Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17).


Wallahu a’lam.

Jakarta, 29 Agustus 2016



~Alza Maligana


-----------------

Referensi:
  1. www.quran.com
  2. Ahmad Fathoni. 2014. Bagian-bagian Surat; Penjelasan dan Contoh. Tersedia: http://www.zonasiswa.com/2014/01/bagian-bagian-surat-penjelasan-contoh.html.
  3. Eko Trisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah. 2012. Pengantar Manajemen. Jakarta: Prenada Media Kencana.
  4. Faried Ali. 2011. Teori dan Konsep Administrasi. Jakarta: Rajawali Press.
  5. http://kbbi.web.id
  6. https://rumaysho.com/8197-kaedah-fikih-16-hukum-adat-kebiasaan-manusia-asalnya-boleh.html
  7. Salam Fadillah Alzah. 2014. Pengelolaan Surat Dinas di Bidang Administrasi dan Keuangan Kantor Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Selatan dan Barat. Skripsi pada Jurusan Administrasi Niaga PNUP. Makassar: Tidak diterbitkan.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Benteng Wolio; Dedikasi Sultan La Buke & Kedermawanan Wa Ode Wau

Agustus 27, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , , , , 10 comments
Malam kemarin saya kembali mengingat-ingat kampung halaman, salah satu kesultanan yang kokoh di tanah Sulawesi, namanya disebut dalam Kitab Negara Kertagama di Pupuh 78 dengan nama Butun.

Foto yang saya upload ini hanya sebagian kecil dari sisi Benteng Wolio yang dinobatkan sebagai Benteng Terluas di Dunia, tercatat di Guinness World Record. Ingatan kembali menyeruak, memikirkan leluhur-leluhur cerdas, konsisten, bijaksana, dermawan, berdedikasi tinggi, dan sifat-sifat luhur lainnya yang membaur bersama barisan batu-batu di dataran tinggi Baubau ini. Nilai-nilai luhur leluhur memang tak tampak di deretan batu itu, tapi auranya terasa membakar hingga sekarang. Apa pemuda-pemudi Buton masa kini banyak yang tahu?

Benteng ini adalah wujud dari mimpi untuk mempertahankan harta, diri, negeri, hukum, dan agama. Semua itu dibangun dengan kecerdasan, dedikasi, dan konsistensi Sultan Ghafurul Wadud La Buke, serta dibalut dengan kedermawanan seorang wanita bangsawan kaya raya, Wa Ode Wau.

***

Sultan La Buke adalah seorang yang cerdas, tulus, dan penuh dedikasi, serta memiliki visi yang jauh ke depan. Beliaulah yang bersikeras agar pembangunan benteng gagah di atas dataran tinggi itu tetap dilaksanakan hingga sempurna.

Setiap usaha yang didampingi niat tulus ikhlas kemudian demi rakyat akan tetap berkendala. Itu sudah hukum alam. Dalam masa pemerintahannya yang berusaha menyelesaikan pembangunan benteng, rakyat berkumpul ingin mengkudeta, meminta ia agar segera turun karena dianggap hanya menyusahkan rakyat dengan pembuatan mega proyek tersebut. Tapi ia tetap pada pendiriannya, benteng harus selesai. Untuk meyakinkan, ikrar ia ucapkan dihadapan rakyat dan pemerintahan bahwa ia akan turun tahta jika benteng telah rampung.

Pembangunan pun dilanjutkan. Harta secara royal ia dermakan, tenaga dan pikiran rela ia tumpahkan. Ia bukan lintah penghisap darah rakyat seperti sebagian pemimpin kacung masa kini. Maka ketika benteng telah selesai, barulah rakyat melihat apa yang sultan cita-citakan, barulah rakyat mengerti apa yang sultan pahami, seakan ingin mencatat dengan rapih di hati rakyat, “Ketahuilah rakyatku, ini untuk kita bersama, hingga anak cucu kita.”

Tabir penyingkap pikiran rakyat telah terbuka dan ikrar telah terucap, Sultan Ghafurul Wadud La Buke turun tahta karena pembangunan telah khatam. Ia memilih melebur bersama rakyat, tak harap puja-puji dengan beragam jenis sumpah. Biarlah Allah yang mengupah. Toh, ini usaha bersama. Mudah-mudahan benteng ini jadi saksi bagaimana ia ingin melindungi agama, hukum, negeri, jiwa dan darah, serta harta seluruh rakyatnya.

*** 

Dibalik proyek itu ada pula seorang wanita yang tangguh, Wa Ode Wau namanya.

Wa Ode Wau adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat dermawan, pedagang yang asetnya menyebar dari Johor sampai Maluku, menjadi pesaing berat VOC di zamannya. Ketika wafat, ia meninggalkan kekayaan tidak kurang dari 180 milyar gulden atau sekitar 60 milyar dolar yang diamankan anak angkatnya, La Ode Sribidayan, Raja Sorawolio.

Hartanya yang melimpah ruah dalam wujud emas dan perak hingga berlian tanpa ragu ia berikan demi kepentingan rakyat Buton, tanpa tendensi pribadi, tanpa keinginan merebut tahta. Ia bukan benalu ditubuh rakyat, yang memberi dengan rasa pamrih, seperti sebagian pemimpin cacat moral yang menyeruput darah rakyat karena merasa paling berjasa.

Kerelaan Wa Ode Wau terbukti ketika Sara (Pemerintah) Kesultanan Buton ingin membalas budi, ia membalas dengan tutur lembut lagi dalam maknanya:

“Aku tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara (Pemerintah) Kerajaan atas pengorbanan harta bendaku terhadap pembangunan Benteng Wolio, tetapi semata-mata untuk kepentingan negeriku sendiri, serta untuk kehormatan kaumku dan anak cucuku dikemudian hari. Semoga mereka ada yang mengikuti jejakku ini.”

Inilah Benteng Wolio, yang dibangun dari kecerdasan, konsistensi, dan kedermawanan, serta jutaan nilai luhur lainnya. Nilai-nilai luhur lainnya juga akan tetap tertambat bersama tumpukan-tumpukan batu benteng ini hingga waktu yang Allah tentukan akhirnya.

Inilah benteng yang menjadi bentuk implementasi Falsafah Kesultanan Buton:

Yinda yindamo arata somanamo karo
Yinda yindamo karo somanamo lipu
Yinda yindamo lipu somanamo sara
Yinda yindamo sara somanamo agama

Korbankan harta demi keselamatan diri
Korbankan diri demi keselamatan negara
Korbankan negara demi keselamatan pemerintah
Korbankan pemerintah demi keselamatan agama


***

Semoga masyarakat kini mau belajar. Mudah-mudahan pemimpin-pemimpin masa kini mau memahami. Falsafah Buton adalah karakter kita sebagai masyarakat Buton, cukup sudah budaya luar menggerogoti. Kita sudah cukup kebablasan.

Semoga muda-mudi mau mempelajari, mencari, hingga menjaga. Inilah sejarah tanah kita. Jika bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Berharap pada masyarakat di kota besar? Jangan harap. Mendengar kata Buton saja mereka bingung, “Dimana itu?”.

Oh, rasa-rasanya agama, administrasi, budaya, sejarah, dan sastra selalu bersolek manis dengan romantisme yang menggoda dimataku. Nakal ia mencubit nalar dengan sedikit berbisik, “Kemarilah, peluk aku dalam-dalam lalu rebahkan kepalamu padaku. Apa kamu merasakannya? Pelan hangatku merambat padamu. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tak akan tahu jika tak ingin mendekat.”

Hah, sayang sekali, sejarah daerahku sedikit sulit ditemui literaturnya.

Semoga Allah merahmati Sultan Ghafurul Wadud La Buke dan Wa Ode Wau rahimahumullah. Terima kasih atas teladannya. Terima kasih atas perjuangannya.


Jakarta Selatan, 27 Agustus 2016


~Alza Maligana


---------------------
Sumber:
  1. http://blog.ub.ac.id/jatmikoekotbp/files/2013/04/Kitab-Negara-Kertagama.pdf
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Keraton_Buton
  3. Sudirma Duhari. Wa Ode Wau Pedagang Kaya Raya Dari Buton. Tersedia: www.mysultra.com/wa-ode-wau-pedagang-kaya-raya-dari-buton.
  4. Yusran Darmawan. 2015. Kisah Raja Bugis Di Pulau Buton. Tersedia: http://www.timur-angin.com/2015/11/kisah-raja-bugis-di-pulau-buton.html
  5. Yusran Darmawan. BAB II ORANG BUTON DAN IMAJINASI SEJARAH. [Online]. Tersedia: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119247-T%2025230-Ingatan%20yang-Tinjauan%20literatur.pdf.
  6. Wira Nugraha. 2011. Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Negarakertagama. Tersedia: https://historynote.wordpress.com/2011/04/28/negarakertagama/

Senin, 15 Agustus 2016

Cinta di Setumpuk Semprong

Agustus 15, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Beberapa hari yang lalu ketika dalam perjalanan dari masjid menuju kantor, malam masih sudi bertandang & ibu kota masih beringas seperti sebelumnya. Jalan raya masih rela diinjak sekumpulan Kuda Besi & kawan-kawannya. Terlalu ramai untuk diseberangi. Lebih baik lewat JPO (Jembatan Penyebrangan Orang) daripada diseruduk berantai Si Kuda Besi. ‪#‎TaatAturan‬ ‪#‎Kadang‬

Di JPO tampak seorang bapak & barang dagangannya. Menyapa malu & pelan pada setiap orang yang lewat, “Semprong nya mas, mba.” Saya sendiri penasaran dengan makanan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

“Permisi pak, ini namanya apa ya?”

“Ini semprong mas.” jawab bapak itu dengan senyum merekah. Wajahnya tampak lelah.

“Sebungkus berapa?”

“Sepuluh ribu.”

“Sebungkus ya pak.”

“Iya mas. Alhamdulillah.” Jawabnya.


Kata alhamdulillah yang ia lafalkan begitu menyentuh. Kalian pasti tahu, ungkapan dari hati akan sampai pula ke hati. Jika hanya dari lidah, melewati tenggorokan pun takkan sudi. Ia terlihat haru dan bahagia. Hati mengoceh liar, “Apa laku hari ini hanya sedikit? Sampai segitu bahagia dan harunya bapak ini.”

Di mata dan raut wajahnya jelas terhampar siluet tanggung jawab & pengorbanan, dua di antara jutaan hal yang memberatkan punggung, namun menunjukkan eksistensinya sebagai seorang ayah.

Di semprong ini, ada cinta yang begitu besar dan menjulang sampai keubun-ubun. Cinta ayah untuk istri & anaknya yang menunggu di rumah dengan bait doa dan harapan yang bertumpuk untuk dirapalkan.

Di semprong ini, ada pengakuan bahwa ia memang layak disebut seorang ayah. Mengemis bukan jalan juangnya. Ia terlalu tangguh untuk meminta-minta. Terlalu gagah untuk menjadi penjahat.

Kepala jauh menerawang, apa saya juga bisa bertanggung jawab sebagai seorang bapak nantinya? Tidak tahu.


Jakarta Selatan, 15 Agustus 2016


~Alza Maligana

Selasa, 09 Agustus 2016

Pemasaran Strategik yang Bikin Baper

Agustus 09, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas pernikahan saudara-fillah kami, Akh Adipati Jayadi dan Ukh Khaerunnisa Hasyim. Barokallahu laka, wa baaroka 'alaika wa jama'a baynakumaa fiy khair. Semoga Allah memberkahi kalian, semoga berkah atas kalian, semoga kalian dikumpulkan kedalam kebaikan.

Saya turut sangat berbahagia dengan pernikahan saudara kami, dan sukses baper beberapa hari ini. Sedih juga karena tidak bisa hadir dipernikahannya. Baper sukses bertambah ketika malamnya dikirimi pesan bbm yang isinya hanya "ehm". Ayolah, tidak ada deskripsi lebih lanjut apa maksudnya?

Supaya tidak terbawa perasaan kalah dan mengusir pikiran dan pertanyaan "Tuhan, saya kapan?" yang berhamburan di kepala, buku menjadi pelarian terbaik. Buku adalah benda mati terbaik yang kamu miliki walau sering diabaikan. Buku Pemasaran Strategik sepertinya cukup membuat pikiran lepas dari keter-baper-an.

Tapi semuanya berubah ketika masuk pada pembahasan Hukum Kekekalan Marketing di subbab Hukum Kepemimpinan yang isinya:

"Lebih baik menjadi yang pertama daripada menjadi yang lebih baik."

Alam bawah sadar bukan menuntun saya untuk berpikir bagaimana sebuah produk bisa mencuri perhatian konsumen pasar dengan menjadi yang pertama, tapi menuntun saya berpikir "kenapa bukan saya yang pertama? Untuk apa menjadi lebih baik jika bukan yang pertama?" Point of view benar-benar menjadi inti dari tulisan. #HentikanKejabeanMuAnakMuda #AnakMudaAntiJabe

Oke, mari kita lupakan. Semakin menjadi-jadi ketika masuk Hukum Ingatan atau Pikiran:

"Lebih baik menjadi yang pertama dalam ingatan, daripada yang pertama dalam gerai penjualan."

Silakan tafsirkan sendiri.

Entah kenapa, buku Pemasaran Strategik pun bisa membuat saya bawa perasaan. Kata teman saya, "Katanya, ada dua jenis orang yang tidak bisa dinasehati; seseorang yang lapar, dan yang sedang jatuh hati."

Jakarta Selatan, 9 Agustus 2016


~Alza Maligana

Sabtu, 06 Agustus 2016

Antara Kesultanan Buton, Bone, dan Gowa-Tallo (3)

Agustus 06, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Kenapa Arung Palakka menyerang Gowa? Apakah Arung Palakka La Tenritatta memang seorang pengkhianat?

Jika memang berkhianat, La Tenritatta berkhianat kepada siapa?

Dari literatur dan cerita turun temurun, Arung Palakka telah lelah hatinya melihat perbudakan yang dilakukan Kerajaan Gowa terhadap Soppeng dan Bone. Penentangan ini telah ada sejak beberapa generasi sebelumnya. Hanya saja, Bone dan Soppeng tidak memiliki kekuatan yang kuat untuk menentang Gowa. Tak hanya rakyat biasa, bangsawan pun menjadi budak yang dipekerjakan untuk membuat parit dan benteng.

Arung Palakka pun mencari koalisi, diyakinkannya Kerajaan Soppeng, tanah kelahiran ayahandanya, dan daerah sekitarnya dengan visi yang sama, "Selamatkan Bangsawan, Hentikan Perbudakan !"

Angin segar pun bersambut, membelai pelan panasnya kepala kompeni yang sudah pusing setengah hidup ingin menjatuhkan Gowa. Kompeni sudah melancarkan berbagai jenis cara, termasuk mempermainkan harga pasar dan mengendalikan perniagaan dari Maluku. Hasilnya sama, NIHIL ! Gowa tak kunjung melemah. Mengapa? Somba Opu menjadi lokasi perniagaan yang benar-benar mempengaruhi nusantara dan sekitarnya, ditambah lagi Kerajaan Gowa menggunakan prinsip pasar bebas di Somba Opu.

Bergabunglah Arung Palakka bersama kompeni. Penyerangan berlangsung sengit sampai akhirnya Gowa harus mengakui kekalahannya dan lahirlah Perjanjian Bongaya. Kemenangan Arung Palakka selanjutnya mempengaruhi peta politik kerajaan lain semisal Maluku, Ternate, Buton, Trunojoyo, Bima, hingga ke Minangkabau.

~Alza Maligana
__________

Sumber:
1) www.timur-angin.com
2) Silsilah Kekerabatan Raja-raja Sulawesi Selatan dan Barat

Sumber foto: www.adindut.com

Ada yang Datang, Ada yang Pergi

Agustus 06, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Beberapa teman sering mengeluh karena harus berpisah dengan keluarga atau sahabatnya karena sesuatu dan lain hal, misalnya karena tuntutan kerja diluar daerah atau karena kesibukan masing-masing. “Aku rindu sama bapak, ibu, nenek, kucing dirumah, kecoak yang biasa berkeliaran didapur, semuanya!”, “Udah gak ada si Fulan, jadi sepi”, atau “Semua udah gak seperti dulu, udah beda, gak ada yang bisa seperti dia.” Tidak salah, hanya rindu berlebihan itu terlalu menyakitkan.

Saya bukan Mario Teguh, bahkan Mario Teguh tidak mengenal saya, tapi sebagai teman saya akan merespon positif dan memberikan saran yang baik (walau kadang sedikit mainstream). Jawaban yang sering saya ulang-ulang adalah:

“Tenang saja, kalau ada yang pergi, berarti akan ada yang datang. InsyaAllah. Keluarga atau sahabat-sahabat kita yang lalu berpisah dengan alasan yang baik, suatu saat Allah akan gantikan dengan yang semisal atau lebih baik, asal kita yang mau membuka diri dan ingin menjadi lebih baik juga.”


Kadang kita terlalu terpaku di masa lalu, kemudian takut melangkah. Kaki begitu beratnya melangkah, apalagi hati. Percayalah, ketika kaki melangkah dan hati rela meninggalkan keluarga atau sahabat di tanah kelahiran demi kebaikan, maka Allah akan berikan orang-orang yang semisal mereka kasih sayang dan perhatiannya.

Foto ini ketika wisuda Tahsinul Qiroah Angkatan 2010. Mereka yang ada di foto adalah salah satu pemberian terbaik yang Allah kasih. Ketika saya harus meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat di Baubau, Allah kirim mereka satu per satu untuk mendampingi. Apa mereka sempurna? Tidak, mereka tidak sempurna, tapi kita terikat di wadah dan tujuan yang sama. Ada kekurangan dan kelebihan. Ada yang tawadhu tapi mahal senyum, semangat belajar tapi kaku, semangat membantu dakwah tapi malas belajar, sangat beragam jenisnya, sampai mengaku-ngaku tampan pun ada. Jangan tanya saya siapa orangnya, mungkin nanti akan muncul sendiri di kolom komentar.

Mereka adalah “keluarga” tapi bukan keluarga. Keluarga yang terikat karena millah (agama), bukan karena darah. Yang ada di foto hanya beberapa, masih ada sosok-sosok lain yang sangat membantu. Semoga Allah merahmati dan menjaga mereka.

_________


Dua hari lagi akhuna Adipati, salah satu sahabat saya (yang masih rela dijadikan rival) akan menikah. Tolong jangan tanya saya kapan. Mudah-mudahan urusannya lancar hingga hari H. Katanya harus fokus dan tenang, urusan kantor lepas dulu, nanti ijab kabulnya yang disebut malah kwh meter, bukan nama mempelai wanita. Apalagi sampai nyebut “SAH!” padahal belum ngulangin kata-kata wali nikah.


Barokallahu fiykum.

Jakarta Selatan, 6 Agustus 2016


~AiM

Selasa, 02 Agustus 2016

Antara Kesultanan Buton, Bone, dan Gowa-Tallo (2)

Agustus 02, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , , No comments
Ini tentang harga diri & tanggung jawabnya sebagai pemimpin rakyatnya lepas dari penindasan. Berangkatlah La Tenritatta ke tanah leluhurnya, bersama para pembesar yg bergelar Andi Bau & pengikutnya, mencari suaka utk tetap bertahan hidup di Kesultanan Buton. Konon, salah satu versi cerita asal muasal kata Baubau diambil dari kata Andi Bau, gelar bangsawan Bone yg mendiami wilayah luar Benteng Wolio.

Arung Palakka kagum melihat benteng yang brdiri megah, lebih megah & kokoh dari Fort Rotterdam Kerajaan Gowa.

Pertahanan yg terdiri dr “Matana Sorumba”, “Batara”, Benteng Wolio, hingga masjid cukup kuat untuk membendung berbagai jenis serangan dari luar. Berdiamlah Sang Raja Bone di dalam wilayah kesultanan hingga 3 tahun lamanya.

Kenapa Kesultanan Buton harus melindungi Arung Palakka?

Yusran Darmawan bertutur;

“Bagi masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah org lain. Silsilah yang disimpan banyak warga setempat menyebutkan dirinya adalah seorang saudara yg sedekat urat leher. Disini, ia lebih dikenal sbg La Tondu, keturunan langsung La Kabaura yg merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga. Dr garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara i Bone, yg kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka.”

Beliau menuturkan, diambil dari budayawan lokal La Ode Syarif Makmun bahwa La Kabaura atau Andi Bauru datang ke Bone tahun 1582 sebagai duta utusan Sultan Buton Murhum Kaimuddin yang diminta oleh Raja Bone La Tendari Bongkangnge. Dalam kunjungan itu, La Kabaura menikah dengan Putri Raja Bone La Tendari Bongkangnge yang bernama Wetendari Siang dan dari pernikahan tersebut lahirlah La Pottobune’ Arung Tana Tengnga yang menjadi Raja Soppeng. Selanjutnya La Pottobune’ menikah dengan Putri Sultan Adam Matinro’e Bantaeng yang bernama Wetenri Sui (Suri), dan lahirlah Arung Palakka."

Memberi suaka bukan berarti tanpa resiko. Ketika Kerajaan Gowa tahu Arung Palakka berada di Buton, dikirimlah Bontomarannu beserta ribuan pasukan untuk menyerang. Pecahlah peperangan. Sayangnya, Gowa yg sedang dalam kondisi lemah tak mampu memenangkan peperangan.

~Alza Maligana

------------
Sumber:
1) www.timur-angin.com
2) "Silsilah Kekerabatan Raja-raja Sulawesi Selatan dan Barat" oleh Rasyid Al Ab

Merantau

Agustus 02, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Petang di Jatipadang ini selalu sama; macet dan bising. Katanya, "Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri." Lalu kenapa menetap hingga lebih setahun?

Pertanyaan dasarnya; Kenapa harus keluar daerah? Sederhana; karena pikiran akan lebih terbuka, walaupun ego masa muda selalu membentak. Culture-shock pun menjadi bumbu menarik disetiap perjalanan. Sebenarnya jika bisa, ingin hati membawa badan merantau lebih jauh dari ini.

Salah seorang ulama tabi'in ditanya oleh muridnya, "Kenapa kamu bisa mendapatkan ilmu dan pemahaman yang kuat seperti sekarang?", beliau rahimahullah menjawab, "Karena aku (merantau) keluar dari daerahku."

Ibunda Imam Syafi'i harus rela meninggalkan Gaza menuju Madinah, mengantarkan sang anak belajar pada muara ilmu, Sang Imam Hadits Madinah, Imam Malik ibn Anas rahimahullah.

Ketika besar, Imam Syafii kembali merantau diberbagai daerah, seperti Baghdad dan Mesir.

Di Baghdad ia bersama Imam Ahmad, di Mesir ia bertemu murid-murid Imam Laits ibn Saad yg buku-bukunya memberi pengaruh besar pada pemahaman Imam Syafii yang mampu menengahi Ahlu Ra'y murid-murid Imam Abu Hanifah dan Ahlu Hadits murid-murid Imam Malik ibn Anas -rahimahumullah- yang terus menerus bertikai.


Bagaimana jika tak punya daya keluar daerah?

Manfaatkan sumber daya sekitar semaksimal mungkin. Imam Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang tidak keluar dari Andalusia. Hidupnya berputar-putar didalam wilayah Andalusia karena faktor politik yang tak menentu.

Lalu, merantau atau tidak? Dua-duanya pilihan. Apa artinya merantau jika tak menjadi lebih baik? Rugi! Apa artinya menetap jika tak ada perubahan? Pailit!

Masing-masing punya tantangan. Tak hidup di tanah kelahiran tak selalu menyusahkan, hidup di tempat awal membuka mata pun tak selalu mengasyikkan. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan.

Semuanya kembali kepada diri masing-masing; ingin berubah atau menjadi ikan mati yang mengikuti arus.


Jakarta Selatan, 2 Agustus 2016


~Alza Maligana

Selasa, 03 Mei 2016

Tetap Melangkah Walau Sendiri

Mei 03, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Untuk diriku & kalian wahai Para Pejuang Tarbiyah dan Tahsinul Qiroah. Mohon maaf atas tumpukan huruf yg terangkai dari ketukan-ketukan jari kotor diatas “keyboard” ini.

Banyaknya pelajar di masa awal hanya ilusi. Buku catatan, absensi, & telepon genggam sederhana milik Para Murobbi dan Mudarris itu cukup menjadi saksi. Berapa banyak nama yg akhirnya berguguran entah kemana, laksana daun kering yg patah bersama dahannya di kemarau yg berkepanjangan. Lalu, kaki begitu lemas dan jiwa begitu malas ketika murid menjadi sedikit.
 
Sedihnya, mengapa sebagian di antara kita hanya sudi berbagi ilmu jika pendengarnya banyak? Lalu, meninggalkan sedikit murid yg tersisa. Apa kuantitas mengalahkan kesungguhan hati pelajar yg tersisa?
 
Tetaplah bertahan untuk mendidik, walaupun hanya satu atau dua murid yg menyambut, yg melangkah dengan sekeping senyum malu-malu & hati yg terbuka lebar, yg mengerti dg usaha yg begitu gagap & lisan yang terseok-seok. Kita tidak tahu siapa yg akan menjadi penggerak di masa yg akan datang.
 
Suatu ketika Syaikh Abdurrahman As-Sa’di membahas suatu kitab, diawal-awal pesertanya begitu banyak hingga perlahan menjadi sedikit. Satu per satu hilang. Seperti itulah hukum alam yang akan terus berulang.
 
Hanya satu yg bertahan & Syaikh As-Sa’di begitu mencintainya. Hanya satu. Yg satu itu kemudian menjadi ulama besar, namanya disebut-sebut bahkan ketika jasadnya telah berpelukan dengan tanah, terbaring menunggu datangnya Hari Akhir dialam kuburnya. Siapa dia? Beliau adalah Syaikh Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin. Semoga Allah merahmati mereka.
 
Jika kita telah bersusah payah, melangkahkan kaki kecil & lemah, matahari diatas kepala begitu mesranya bercumbu dengat kulit, sampai butiran keringat semangat saling berkejaran diatas dahi & pipi, & ternyata hanya satu peserta yang menyambut, berbahagialah dan berterimakasihlah padanya karena ia akan menjadi penerus amalmu; “ilmu yang bermanfaat.”
 
Seleksi alam akan tetap ada, bertahanlah sebisa mungkin. Mungkin Allah ingin melihat setinggi apa kesungguhan & sedalam apa keikhlasan. Tetaplah berjuang, tetaplah melangkah walau sendiri.

 
~Alza Maligana

Rabu, 27 April 2016

Antara Kesultanan Buton, Bone, dan Gowa-Tallo

April 27, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah 4 comments
Setiap kali melihat patung ini di Bandara Sultan Hasanuddin, saya teringat kembali hubungan antara Buton atau Wolio, Bone, dan Gowa-Tallo. Patung ini adalah replika Sultan Hasanuddin I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe, Raja Gowa 16. Semoga Allah merahmati beliau. 

Kami masyarakat Wolio sudah menjalin hubungan diplomasi dengan Kerajaan Gowa sejak dulu. Diantaranya, Ketika Karaeng Tunipasulu, Raja Gowa Ke 13, keluar dari Gowa karena sesuatu & lain hal lalu menuju Luwu & masuk Islam disana, beliau hijrah ke Tanah Buton dan mendapatkan suaka dari Sultan Buton. Karaeng Tunipasulu wafat di Buton dan dimakamkan dibagian depan dalam Benteng Wolio.

Begitupun dg Kerajaan Bone, Wolio terikat hubungan diplomasi dan kekerabatan.

Ketika pasukan Sultan Hasanuddin mengejar Raja Bone, Arung Palakka, yang didiskreditkan dg gelar Sang Pengkhianat (?), ia meminta perlindungan kepada Raja Wolio, Sultan Aidul Rahim. Semoga Allah merahmati mereka.

Tentunya sangat berat jika tidak melindungi "saudara". Semboyan "Bone rilau, Butung riaja (Bone di barat, Buton di Timur)" atau "Bone adalah Buton di Barat, Buton adalah Bone di Timur" menjadi simbol persaudaraan antara Bone & Butung atau Buton. Sayangnya, hanya sedikit pemuda Bone yang tahu.

Dan, sangat berat juga jika tidak memberi jawaban memuaskan kepada Kesultanan Gowa Tallo mengenai keberadaan Arung Palakka. Sempurna seperti simalakama.

Maka, Sultan Buton memberikan jawaban ke pasukan Sultan Hasanuddin, "Arung Palakka tidak ada diatas tanah Wolio (Buton). Jika kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air!", tegas Sultan Buton saat itu.

Apakah Sultan kami berbohong? Tidak. Dalam Islam, ini disebut tauriyah, boleh digunakan dalam kondisi genting dan darurat. Arung Palakka memang tidak diatas tanah Buton, tapi dibawah tanah Buton, bersembunyi didalam ceruk seukuran badannya, kemudian kini diberi nama "Goa La Tondu". Ya, La Tondu adalah panggilan Arung Palakka di Tanah Wolio atau Buton.

Apa kami membenci Gowa Tallo? Tidak. Berorganisasi dan menjadi penengah itu sulit. Setiap pilihan ada resiko yang akan dijalani, seperti apa yang dialami Sultan Buton saat itu.

Kami tetap mencintai Raja Gowa, Raja Bone, dan Raja Buton. Kita bersaudara di tanah yang berbeda. Adapun apa yang menjadi penyebab perpecahan antara dua kerajaan besar itu, saya pribadi lebih memilih diam. Masing-masing memiliki kesalahan, dan masing-masing memiliki kebenaran. Semoga Allah merahmati mereka semua.

~Alza Maligana

Sabtu, 05 Maret 2016

Drama Tangis dalam Tawa

Maret 05, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Ada banyak cerita dibalik tawa. Tidak semua tawa itu kebahagiaan.

Dalam sebuah dimensi, tawa hanya bentuk kemunafikan. Maaf, maksudku wajah sedang memainkan perannya dalam sebuah drama, menari anggun dalam sebuah euforia, tapi hati terseret lesu di atas ketidakpastian. Nelangsa! Senyum bahagia itu entah tercecer dimana, tawa palsulah sebagai gantinya.

Apa kamu mengira kerasnya tawa pada hal bodoh adalah sebuah kewajaran? Tidak! Tidak sama sekali!

Tawa keras nan bodoh itu usaha. Usaha menutup tangis dalam diam, menggigil dibawah kafilah angin bercampur rintik-rintik harapan. Semakin deras juga tak mengapa, supaya air mata yang malu-malu itu berjinjit pelan dipipi tanpa kasat mata.
Jangan terlalu percaya pada tawa dan tingkah konyol sahabatmu, bisa saja dibalik tawa ada memar. Memar yang begitu hebat dihatinya.

Apa yang harus kamu lakukan? Tak perlu menjadi Mario Teguh KW Super dengan segala petuah syahdu. Dengarkan dan temani saja, bebaskan dia melantunkan ayat per ayat dari kisah pilunya. Berikan petuahmu ketika ia memintanya. Ingat, hanya pada saat ia memintanya.

Temani saja ia agar tetap melangkah.Yang ia butuh bukan petuah, tapi sebuah kenyataan bahwa ia tidak sendiri, bahwa ada alasan untuknya tetap bertahan, bahwa ada cerita indah diujungnya, laksana indahnya mawar cantik berdandan manis manja diujung tangkai yang berduri.

~Alza Maligana

Jumat, 04 Maret 2016

Jangan Dulu Mendayu-dayu

Maret 04, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
quranfocus.com
Ilmu tajwid menurut saya seperti punya daya tarik tersendiri. Susah tapi menyenangkan. Susah tapi menyenangkan? Iya, serius! Susah kalau tidak lolos cara penyebutannya, menyenangkan kalau lolos. Seperti dulu saya coba membaca kata “mustaqiim” pada surah al-Fatihah dan tidak lolos sampai sekitar dua pekan. Di kos, di kelas, di koridor kampus, di masjid, saya coba sebut “mustaqiim … mustaqiim … mustaqiiim”, sampai teman kelas komentar, “Kenapa? Itu Mustakim eh. Kenapa sebut-sebut namanya dari tadi?”.

Selama belajar, saya punya beberapa teman yang juga senang belajar mengaji. Hanya saja, ada sebagian yang lebih fokus ke nada, bukan tajwid. Ini bahaya. Di tahun 2014 lalu ustadz Hasbin Abdurrahim sempat memberikan nasehat kepada kami, “ … jangan terlalu fokus di nada, fokus ke tajwid. Kalau tajwid sudah bagus, insyaAllaah nada juga bagus. Kita lebih nyaman dengar orang yang mengaji bagus tajwidnya, daripada bagus nada tapi tajwidnya kacau.” Terima kasih nasehatnya ustadz.

Sekarang media belajar sudah tersedia dimana-mana, baik video maupun audio. Akan tetapi, terkadang seseorang yang sedang belajar lebih suka mendengar dan meniru suara ulama yang mendayu-dayu, misalkan Syaikh Mishari Rasheed Al-Afasy atau Syaikh Ziyad Patel (semoga Allah menjaga mereka).

Sekedar share pengalaman, mohon diluruskan jika salah.

Menurut saya pribadi, jika ingin lebih fokus ke cara penyebutan huruf dan pengaplikasian hukum seperti hukum nun sukun dan tanwin, hukum mim sukun, sampai bacaan-bacaan gharib, lebih baik dengarkan murottal syaikh yang pelan dan tidak terlalu mendayu-dayu.

Kenapa? Alasannya karena sering seseorang yang sedang belajar lebih “terhipnotis” dengan nada lalu lupa dengan tajwid. Yang penting nadanya masuk, tajwid belakangan, hehe. Bahkan ada yang tetap dipaksakan walau suara tidak pas karena leher dan nafas sudah diambang batas *NyinggungDiriSendiri*

Silakan dengarkan murottal ulama yang mendayu-dayu, tidak masalah. Terkadang kita butuh suara syaikh yang mendayu-dayu seperti yang saya sebutkan diatas, Syaikh Mishari Rasheed Al-Afasy. Nadanya sering memancing hati dan mata untuk menangis, contohnya seperti ketika beliau membaca surah Ibrahim di Sholat Tarawih beberapa tahun lalu.

Tapi, jika sedang dalam keadaan belajar, lebih baik dengarkan bacaan syaikh yang tidak terlalu mendayu-dayu seperti Syaikh Ali Abdurrahman Al-Hudzaifi. Tujuannya agar kita lebih fokus ke cara Syaikh tersebut menyebutkan huruf, dan perhatian tidak terlalu dialihkan dengan nada.

Fokuskan diri belajar tajwid terlebih dahulu kemudian nada. Sekali lagi mohon diluruskan jika saya salah.

Wallahu a’lam …

Semoga bermanfaat.

~Alza Maligana