"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Senin, 03 April 2017

Kerupuk dan Tauhid

April 03, 2017 Posted by Salam Fadillah Alzah , , No comments
Suatu malam di bulan Oktober tahun lalu, ketika dalam perjalanan pulang dari kampus, aku bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang tampak kebingungan, dengan tumpukan kerupuk ditangan kanan dan tongkat ditangan kirinya. Aku mengenal jelas siapa ibu itu. Dia adalah wanita paruh baya yang hampir setiap hari berjualan kerupuk di depan stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalian yang pernah menuju atau dari stasiun Pasar Minggu di sore hari insyaAllah akan bertemu ibu tersebut yang sering menawarkan dagangannya.

Melihat beliau yang terlihat kesulitan dan kelelahan, aku pun menyapa dan mengantar beliau ke peron*, menunggu kereta menuju Bogor. Disinilah percakapan haru kami dimulai.

“Ibu mau kemana? Mau pulang?”
“Iya … ”
“Sini aku antar bu”, aku pun mengantar ibu itu, sambil membantu memegang kerupuk yang ia bawa.
“Ibu tujuan kemana?”
“Bogor nak. Aku ama keluarga tinggalnya di Bogor” Jawab ibu itu dengan sopan dan ramah.
“Oh, ibu tinggal di Bogor. Kerupuk ini ibu yang buat atau beli terus ngemas sendiri?”
“Ini aku beli banyak, terus ngemas sendiri.”
“Untung ruginya gimana?”
“Untungnya gak seberapa, tapi cukup”

Oh iya aku lupa memberi tahu, ibu tersebut buta. Meski tidak dapat melihat, pantang ia meminta-minta. Ia tetap berusaha bekerja semampunya dengan tertatih-tatih, walau dengan kekurangan yang ia miliki. Pakaiannya pun rapi, berusaha menutup aurat dan berusaha mengurangi kesan sekadar menutupi. Sekiranya kita dalam kondisi fisik seperti beliau, apakah kita mampu?

Kemudian, ada sedikit yang mengganjal dipikiranku, lalu aku berusaha menyusun kata agar tidak menyinggung perasaan.

“Bu, aku minta maaf sebelumnya. Ibu seperti ini (tuna netra), apa gak takut rugi karena ditipu?”, tanyaku perlahan. Semoga saja tidak tersinggung.

Kemudian ibu itu tersenyum tulus, tidak ada tanda-tanda tersinggung dari wajahnya, “Allahu a’lam ya nak kalau ada yang mau nipu, tapi aku yakin rejeki itu Allah udah ngatur. Jadi, kalau misalnya ada yang nipu ya, allahu a’lam nih, aku kan rugi tapi aku gak tahu, tapi aku tahu kalau Allah tahu.” Aku merenung, dalam nian maksud ibu ini.

Ibu itu lanjut bertutur, “Aku gak tahu kalau aku ditipu (karena buta). Tapi, biasanya ada aja orang yang bayarnya lebih. Aku jualnya sebungkus enam belas ribu, kan biasa gak ada kembalian karena duitnya dua puluh ribu, kadang pembeli bilang, ‘udah, untuk ibu aja’, alhamdulillah …”, beliau tertawa ringan.

Aku semakin lemas. Sial, aku belajar tauhid bahwa Allah yang mengatur rezki, tapi sering khawatir terhadap rezki yang jelas-jelas akan mendatangi kita sebagaimana kematian mengincar kita.

Aku terharu. Ada-ada saja pelajaran yang dapat kita petik dari orang yang berada dibawah kita. Sebagaimana dalam sebuah hadits;

: وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
 انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
 (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” 
(Muttafaq ‘Alaihi)

Secara fisik dan materi, mungkin aku lebih tinggi dari beliau, tapi dari hati dan keyakinan beliau lebih. Terlalu jauh malah. Sembari mengantar beliau dan berhati-hati, aku terus memikirkan kalimat-kalimat yang beliau ucapkan tadi.


Aku mengantarnya sampai ke peron, kemudian menitipkan beliau ke security yang berjaga disitu. Ibu itu lalu berkata, “Nak, ini ambil satu, buat teman ngopi.” Aku keberatan, “Maaf bu, jadi gak enak. Ibu lebih butuh buat jualan.” Beliau menjawab, “Udah ambil aja gak apa-apa.”

Dengan berat hati aku terima demi menyenangkan hati ibu tersebut. Ah, aku lupa bertanya nama. Aku langsung pamit pulang dan berterima kasih. Lalu aku menarik nafas dalam-dalam dan bertutur dalam hati, “Satu pelajaran lagi hari ini.”


~Alza Maligana

__________

*Peron (dari bahasa Belanda: perron) adalah jalan kecil yang sejajar dengan rel kereta api tempat lalu lalang penumpang di stasiun kereta api, halte kereta api, atau tempat pemberhentian transportasi rel lainnya.