"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Selasa, 18 Agustus 2020

Buton dan VOC: Awal Mula Persekutuan

Agustus 18, 2020 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , , No comments
Kongsi Dagang Hindia Timur atau yang lazim dikenal dengan nama Verenigde Oostindie Compagnie (VOC) adalah perusahaan besar yang terdiri dari gabungan enam perusahaan dagang Belanda.[1] VOC menjadi momok yang mengerikan jika kita membuka lembaran sejarah Indonesia yang dijajah selama 350 tahun. Literatur di Indonesia menggambarkan dengan panjang bahwa VOC dan Belanda adalah musuh besar nusantara atau Indonesia sehingga siapa saja yang menjadi sekutu VOC akan dicap sebagai musuh Indonesia juga.

Di Sulawesi, Kesultanan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin "Ayam Jantan dari Timur" hadir sebagai musuh tangguh VOC. Berkat perjuangan dan kegigihannya, Sultan Hasanuddin dinilai berhak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional[2]. Masyarakat Makassar patut berbangga atas status tersebut. Benak masyarakat pun perlahan terbentuk bahwa Makassar (Gowa) adalah musuh VOC.

Sultan Hasanuddin
I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe

Sumber: biografiku.com

Di sisi Sulawesi yang lain, Kesultanan Buton tampil sebagai sekutu VOC. Buton dan VOC membentuk jalinan persahabatan sehingga sebagian orang memberikan predikat “Sekutu Abadi” kepada Buton dan VOC. Kesultanan Buton berbanding terbalik dengan Kesultanan Gowa dalam hal hubungan dengan VOC, walaupun sama-sama menjadikan Islam sebagai agama dan pondasi kenegaraan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tasawuf, secara khusus Tarekat Sammaniyah[3][4] yang digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani. 

Dengan kenyataan bahwa Kesultanan Buton adalah Sekutu VOC, apakah Kesultanan Buton secara otomatis menjadi pengkhianat? Menurut saya, pertanyaan ini tidak dapat dilihat dan dijawab benar atau salah. Ada banyak variabel yang menjadi alasan mengapa persekutuan Buton dan VOC tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja. Kesultanan Buton sebagai salah satu wilayah yang berada di nusantara harus ditempatkan secara global dan berkaitan antara sejarah dari satu kerajaan dengan sejarah kerajaan lainnya, dimana sejarah Indonesia juga harus dilihat dalam rangkaian sejarah dunia pada umumnya[5].

***

Sebagai kerajaan dengan sistem pemerintahan sendiri, Buton tidak dapat terlepas dari interaksi dengan kerajaan sekitarnya. Buton dan kerajaan disekitarnya saling bergantung sehingga kondisi politik dan ekonomi masing-masing kerajaan pun tidak dapat dipisahkan dari bagaimana kualitas hubungan antar kerajaan.[6] Kerja sama antar kerajaan sekitar pun telah dibangun oleh Buton, diantaranya kerja sama dengan Gowa Tallo, Bone, dan Ternate, serta kerajaan lainnya yang ada disekitar wilayah Buton [7].

Jika Buton telah lama bekerja sama dalam berbagai hal dengan kerajaan sekitarnya, mengapa Buton pada akhirnya memilih VOC sebagai aliansinya? Mengapa tidak bersekutu dengan kerajaan tangguh disekitarnya, seperti Gowa dan Ternate? Ada dua faktor yang menjadi penyebab mengapa Buton memilih VOC dibanding Gowa dan Ternate, yakni faktor politik eksternal antara Gowa dan Ternate dan politik internal antar golongan Kaomu.

Faktor Eksternal: Terombang Ambing oleh Dua Kuasa

Walaupun telah lama bekerja sama dengan Gowa dan Ternate, hubungan Buton dengan kerajaan lain tidak selalu mulus, terutama dengan Gowa dan Ternate. Syekh Haji Abdul Ganiyu Kenepulu La Bula bertutur dalam Ajonga Yinda Malusa: [8]

Kaapaka karana tangko yindapo
(Sebab karena waktu belum ada)

Tee walanda ipiya malona yitu
(Dengan Belanda beberapa waktu lalu)

Adiaka timbu tajagani taranate
(Musim timur kita menjaga Ternate)

Tajagani Gowa tongkona adika bara
(Menjaga Gowa waktunya musim barat)

Potongan untaian syair dari Syekh Haji Abdul Ganiyu diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa Kesultanan Buton berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, dimana Kerajaan Gowa Tallo yang perkasa di barat dan Kerajaan Ternate yang adikuasa di timur tidak berhenti memberikan tekanan dan menunjukkan hegemoninya ke kerajaan-kerajaan sekitar.[9] Daerah-daerah jajahan Gowa Tallo dan Ternate semakin banyak, tapi Kesultanan Buton ingin merdeka dan tidak mau berada dibawah kendali kerajaan lain. Peperangan terus berlangsung antara Gowa dan Ternate hingga keduanya akhirnya berdamai dan membuat kesepakatan bahwa Selayar berada dibawah pengaruh Gowa dan Buton berada di bawah pengaruh Ternate.[10] 

Menghadapi realita tersebut jelas Buton menginginkan aliansi yang mengedepankan kesetaraan dan kemerdekaan, bukan sebagai jajahan. Namun, kepada siapakah Buton harus beraliansi? Siapa yang memiliki kekuatan dan sanggup menandingi kedua kerajaan tersebut?

Di sisi yang lain, VOC berlayar menuju timur mencari wilayah lain yang dapat mereka eksplorasi dan eksploitasi hasil alamnya. VOC harus rela berpindah dari Banten pascapengusiran yang menjadi memori kelam untuk mereka. Dalam perjalanannya, VOC kemudian melihat Buton sebagai wilayah yang sangat strategis dan potensial untuk diajak untuk bekerja sama. VOC perlahan hadir dengan kehati-hatian dan kekhawatiran akan mendapatkan penolakan yang sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya.

Namun diluar perkiraan, VOC ternyata mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Dayanu Ikhsanuddin La Elangi. Melihat peluang kerja sama,  Kesultanan Buton memutuskan untuk membentuk aliansi bersama VOC, dimana Buton diwakili oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin La Elangi (1578-1615) dan VOC diwakili oleh Apollonius Scotte[11], membuat perjanjian yang disebut dengan Janji Baana atau Perjanjian Pertama. Perjanjian Pertama ini kemudian dikukuhkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda I, Pieter Both, pada tahun 1613 ketika ia berkunjung ke Buton. Pieter Both menambahkan beberapa poin lagi sehingga perjanjian tersebut berubah menjadi Janji Ruaanguna atau Perjanjian Kedua.[12]

Pieter Both
Sumber: id.wikipedia.org

Hubungan antara Buton dan VOC yang terbentuk pada saat itu memberikan kekuatan kepada kedua belah pihak karena saling membantu dan melindungi, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Secara khusus Sultan Dayanu Ikhsanuddin memperkuat posisinya sebagai sultan dan VOC memperkuat kedudukannya di timur nusantara, serta Kesultanan Buton mampu bertahan dan stabil menghadapi hiruk pikuk persaingan antara kerajaan-kerajaan sekitar dan sepakat bahwa musuh VOC adalah musuh Buton juga.

Faktor Internal: Selisih antar Kaomu

Lahirnya Janji Baana atau Perjanjian Pertama dinilai  sebagai langkah taktis luar biasa oleh Sultan Dayanu Ikhsanudin yang ditempuh untuk menyelematkan Buton dari ancaman Angin Barat (Gowa) dan (Angin Timur) Ternate, seperti yang dikhawatirkan oleh Syaikh Haji Abdul Ganiyu. Tetapi, pilihan tersebut hadir dengan masalah dan intrik dari Sultan Dayanu Ikhsanudin. Janji Baana muncul beriringan dengan perselisihan dalam internal kerajaan, terutama internal golongan Kaomu.

Hal yang harus diingat kembali adalah Kesultanan Buton memiliki stratifikasi sosial yang cukup unik dalam perjalanan sejarah, dimana strata sosial terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu Kaomu, Walaka, dan Papara-Batua. Kaomu sendiri kemudian terbagi dalam 3 bagian, yaitu Kaomu Kumbewaha, Kaomu Tanailandu, dan Kaomu Tapi-tapi[13].  (Baca: Strata Sosial di Tanah Buton).

Walaupun Undang-undang Dasar Kesultanan "Murtabat Tujuh" telah disahkan pada masa kepemimpinan Sultan Dayanu Ikhsanudin pada tahun 1610 M, hasrat untuk memimpin kesultanan dari setiap golongan Kaomu tetap ada. Masing-masing menunggu momen untuk memimpin dan mempertahankan kepemimpinan, termasuk Sultan Dayanu Ikhsanudin yang mendapatkan momennya ketika bekerja sama dengan VOC.

Janji Baana yang dirumuskan sebagai solusi untuk Buton dan VOC berubah menjadi polemik ketika diperbaharui kembali oleh Gubernur Jenderal Pieter Both dengan Janji Ruaanguna atau Perjanjian Kedua. Kritik tajam diarahkan ke Sultan Dayanu Ikhsanudin karena dalam Janji Ruaanguna muncul klausul baru yang menyebutkan bahwa sepeninggal Sultan Dayanu Ikhsanuddin estafet kepemimpinan akan diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Syamsuddin dan Qomaruddin[14]. Oleh karena itu, terang benderang memperlihatkan bahwa kepemimpinan selanjutnya akan berada di tangan Kaomu Tanailandu. Klausul baru tersebut menciderai sistem yang telah ditetapkan dan seakan-akan memperlihatkan bahwa Sultan Dayanu Ikhsanuddin ingin memonopoli jabatan sultan hanya berada ditangan Kaomu Tanailandu. Kaomu Kumbewaha dan Kaomu Tapi-tapi jelas tidak akan tinggal diam terhadap keputusan tersebut.

Sumber: www.timur-angin.com

Penerapan keputusan tersebut berujung pada penolakan internal kesultanan, dimanfaatkan pula oleh Kesultanan Gowa dengan mempengaruhi sebagian kalangan istana untuk menolak dengan tegas keputusan tersebut. Hasil dari kumpulan penolakan yang mengkristal adalah turunnya Sultan Qomaruddin dari tampuk kepemimpinan digantikan oleh Sultan Gafurul Wadudu La Buke yang berasal dari Kaomu Kumbewaha. Pengalaman ini kemudian mengantarkan Kesultanan Buton kepada sistem pemilihan sultan yang baru sesuai Undang-undang Murtabat Tujuh, dimana calon sultan harus berasal dari Tanailandu, Kumbewaha, dan Tapi-tapi. Dalam proses pemilihan sultan, setiap cabang tersebut harus mengusulkan calonnya dan pemilihan akan dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat Siolimbona.[15]

***

Keputusan yang diambil oleh setiap pemimpin pasti memiliki celah dan cela, kecuali keputusan tersebut adalah wahyu dari Tuhan. Walaupun Janji Baana dan Janji Ruaanguna dinilai sebagai intrik Sultan Dayanu Ikhsanudin untuk memonopoli kekuasaan, keputusan kerja sama tersebut juga memberi dampak positif kepada Kesultanan Buton. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya Kerajaan Buton pada fase awal; sibuk menjaga diri dari bajak laut dan dominasi Kesultanan Gowa dan Ternate. Keputusan kerja sama ini disatu sisi adalah langkah yang sangat brillian sehingga Kesultanan Buton dapat mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Oleh karena itu, Kesultanan Buton tidak dapat dinilai mutlak sebagai pengkhianat bangsa. Keputusan yang diambil oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin adalah menjaga eksistensi wilayah dan darahnya sendiri. Pada fase awal, persekutuan Buton dan VOC menjunjung tinggi kesetaraan dan fokus pada simbiosis mutualisme masing-masing pihak, tidak seperti Kesultanan Gowa dan Kesultanan Ternate yang menjadikan Buton sebagai jajahan.

Janji Baana adalah cikal bakal lahirnya perjanjian-perjanjian selanjutnya sehingga Buton terikat oleh VOC. Keterikatan ini menjadi salah satu argumen bagi sebagian orang bahwa Buton dan VOC adalah sekutu abadi. Namun, apakah benar Buton dan VOC adalah sekutu abadi? InsyaAllah akan dibahas pada tulisan selanjutnya.

Semoga Allah merahmati para pendahulu kita. Mudah-mudahan Allah memaafkan mereka.


Pandeglang, Agustus 2020



~Alza

_____________________


[1] https://historia.id/kuno/articles/hari-ini-voc-berdiri-DWVe3

[2] Peranginangin, Marlon dkk. 2007. Buku Pintar Pahlawan Nasional, Banten: Scientific Press.

[3] Ridhwan, 2017, Development of Tasawuf in South Sulawesi, Qudus International Journal of Islamic Studies Volume 5, Issue 2.

[4] Rajab, Muh. 2015. DAKWAH ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN BUTON KE XXIX. Jurnal Diskursus Islam 49 Volume 3 Nomor 1.

[5] Latif, Yudhi. 2006. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Bandung: Mizan.

[6] Keuning, J. 1973. Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Ke XII. Jakarta. Bhatara.

[7] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

[8] La Niampe. 2000. Kabanti Oni Wolio (Puisi Berbahasa Wolio) Jilid 2. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

[9] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[10] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[11] Chalik, Husein A dkk. 1984. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tengggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[12] Zuhdi, Susanto. 2018. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widyasastra.

[13] Zahari, A Mulku. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Daarul Butuni (Buton). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[14] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

[15] Zuhdi, Susanto, dkk. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.