"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Minggu, 08 November 2015

Antara Dakwah dan Masakan

November 08, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Foto: infokuliner.com
Postingan kali ini kami akan bercerita sedikit tentang pengalaman kami dan pelajaran yang kami petik dari pengalaman tersebut. Kali ini tentang masakan. Perempuan mungkin bisa lebih paham dari laki-laki :D . Wallahu a’lam.
***
Suatu saat kami sedang mempersiapkan makanan didapur bersama ibu dan bibi (saudari ibu). Bibi kami -rahimahallah (semoga Allah merahmatinya)- mengajari kami membuat sayur, yakni kangkung tumis. Resepnya cukup sederhana, tidak terlalu rumit untuk pemula seperti kami. Kalau tidak salah ingat, saat itu kami kelas satu SMA, Wallahu a’lam.

“Bumbunya sederhana saja; bawang putih, bawang merah, cabai besar, terasi, insyaAllah cukup” kata bibi sembari mengambilkan bahan-bahan tersebut. Selanjutnya kami mengambil satu ikat sayur kangkung dan kacang panjang, kami pilih dan pilah yang baik, kemudian dipotong. “Cara potongnya dibuat cantik, dimiringkan sedikit, seperti jajaran genjang”, tukas bibi sebelum kami memotong.

Bumbu-bumbunya sudah tersedia, tinggal dieksekusi diwajan yang berisi minyak panas. Bibi kami kemudian menjelaskan caranya, kami yang mengeksekusi. Pelan-pelan tapi pasti, sayur yang kami buat alhamdulillah jadi juga. Tapi ada yang berbeda. “Kenapa rasanya beda dengan yang bibi buat? Padahal bumbunya sama, cara membuatnya juga sama?” kami penasaran. Bibi dan ibu kemudian menjelaskan, “Karena memasak itu pakai perasaan.”

Saat itu kami tidak mengerti apa maksud dari bibi. Secara teori mungkin tidak sulit untuk mengetahui maksud dari perkataan itu, tapi yang sulit adalah memahaminya. Banyak yang mengetahui sesuatu dan ia mampu sebutkan kembali seluruhnya satu per satu, akan tetapi ia tidak memahaminya.

Selanjutnya kami coba untuk membuat sendiri sayur kangkung tumis tanpa arahan dari bibi. Perlahan-lahan kami mengerti, perasaan cukup berpengaruh terhadap makanan. Bahan dan takaran adalah bahan utama, tapi perasaan adalah penentunya.

Bayangkan jika kita memasak tanpa perasaan? Bawang yang ditumis mungkin akan gosong atau tidak matang sama sekali, terasi tidak tercampur dengan baik, cabai besar yang terlalu banyak, waktu masak yang terlalu lama, garam yang berlebihan, atau air yang terlalu banyak, dan lain-lain. Takaran dan merasakan cita rasa makanan sangat memerlukan perasaan. Memasak tanpa perasaan? Hasilnya juga tak akan “berperasaan”.

Apa hubungannya dakwah dan memasak?

Apa hubungannya dakwah dan memasak? Jawabannya banyak, tapi sebagian saja yang ingin kami sebutkan disini. Semoga bisa dipahami.

Memasak itu menggunakan perasaan supaya masakannya lebih enak dan yang memakannya pun menikmatinya. Begitu pula dakwah. Dakwah perlu menggunakan perasaan. Tujuannya agar materi yang didengarkan lebih mudah diterima dan pendengar menikmatinya.

Kenapa harus menggunakan perasaan? Akhi dan Ukhti, perlu kita ketahui, tidak sedikit diluar sana da’i yang memberikan materi dengan manhaj yang benar -ahlussunnah wal jama’ah-, tapi masyarakat sangat sulit menerimanya. Mengapa? Alasannya adalah mereka kurang menggunakan perasaan. Materi boleh benar dan baik, tapi jika tidak diolah menggunakan perasaan dan pemahaman, maka hasilnya kebencian yang akan muncul.

Hal diatas sama seperti masakan. Bahan boleh sama, tapi jika pengolahan dan hasilnya buruk, maka yang memakannya juga akan memuntahkannya, bahkan membenci masakan tersebut dan berpikir kembali untuk menerima makanan yang anda tawarkan dilain waktu.

Inilah pentingnya fiqhu da’wah, yakni pemahaman dalam berdakwah. Kita perlu menggunakan perasaan dan memperhatikan target dakwah kita. Tidak sama antara yang telah paham dan yang belum paham. Oleh karena itu, sebagai da’i kita perlu melakukan spesifikasi dan lebih berlemah lembut dalam memberikan nasehat untuk yang belum paham. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 159:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka…”

Lihatlah bagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Rasulullah memahami kondisi dan menggunakan kelemahlembutannya dalam menahan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan memaklumi Si Badui yang hampir saja dihukum oleh para Sahabat.

Tengoklah pula bagaimana sambutan Rasulullah kepada Adi ibn Hatim radhiallahu anhu saat ia masih beragama Nasrani. Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam saat itu merangkul beliau radhiallahu anhu sembari memberikan penjelasan tentang kesalahan dan kesesatan agama Nasrani. Sambutan yang cukup hangat dari Utusan Allah untuk seorang Nasrani yang disesatkan oleh para pendeta pendahulunya. Mengapa demikian? Karena Adi ibn Hatim belum tahu kesalahan dan kesesatan agama lamanya, dan belum tahu cahaya kebenaran Islam.

Begitulah luar biasanya Nabi memberikan contoh hingga kawan maupun lawan segan terhadapnya. Maka bagaimana dengan kita?

Ketika kita telah belajar tentang al-Qur’an dan Sunnah, maka sudah selayaknya kita bisa menempatkan kepada siapa cinta dan benci kita. Gunakanlah perasaan yang Allah berikan ketika menyampaikan risalah-Nya, bukan dengan wajah ketus nan bermuram durja. Walaupun materi yang kita sampaikan benar, menggunakan dalil yang shahih, dilengkapi dengan penjelasan Ulama Salaf (terdahulu) dan Kholaf (masa belakangan atau masa kini), tetapi jika kita tak menggunakan perasaan, maka jangan terlalu berharap mereka akan menerima, apalagi mencoba mengerti.

Mekarkanlah senyum mu, hiasilah lidah mu dengan nasehat-nasehat yang indah, gunakan perasaan ketika berkata, agar yang disampaikan bisa sampai ke hati pendengar dengan baik dan pendengar menikmatinya sembari memekarkan senyumnya, bahkan meminta kita agar tidak bosan memberikan nasehat setiap bertemu dengannya.

Tidak jauh berbeda seperti memasak, tenangkan hatimu, gunakan perasaanmu, olah bahan dengan tenang dan penuh perasaan, agar yang memakannya akan tersenyum, rindu terhadap masakan kita, bahkan meminta kita untuk membuatkan masakan khusus untuknya.

Jika kita belum bisa memiliki kelembutan yang hakiki, yang tidak dibuat-buat, dan “original”, maka mintalah kepada Allah dalam setiap doa. Doakan pula target-target dakwah kita agar mendapatkan hidayah dan taufiq-Nya. Jika mereka membalas dengan ejekan, maka balas ejekan mereka dengan kebaikan. Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat."

Allah berfirman pula dalam surah Fussilat ayat 34-35:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar ...”

Sikap kasih sayang adalah hal yang sangat penting. Imam Muslim meriwayatkan dari Jarir ibn Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia menyampaikan, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Barang siapa yang terhalang dari sikap kasih sayang, berarti ia dihalangi dari kebaikan.”


Semoga Allah memberikan hidayah dan taufiq Nya kepada kita semua …

Akhuukum Fillah, ~AiM

Sumber: 
~ Al-Qur’anul Karim
~ Shohih Muslim

Rabu, 19 Agustus 2015

Robi' ibn Khutsaim ...

Agustus 19, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Beliau adalah orang yang sangat khusyuk kepada Allah, ahli wara’, selalu mengoreksi perbuatan dosa, tunduk kepada Allah, dan beliau adalah seorang ahli ibadah dan zuhud. Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata , “Wahai Abu Yazid, seandainya Rasulullah melihatmu, niscaya ia akan mencintaimu. Setiap kali aku melihatmu, selalu tergambar di benak saya pribadi orang-orang yang khusyuk.”

Beliau adalah orang yang penyabar dan yang selalu mengintrospeksi diri. Beliau adalah orang yang mudah tersentuh dan lunak hatinya. Ibrahim at-Taimi berkata, “seorang teman beliau yang telah bergaul selama 20 tahun mengatakan kepadaku bahwa Robi’ ibn Khutsaim selama dua puluh tahun tak pernah mengucapkan satu kalimatpun kecuali kalimat itu mengingatkan kepada Allah. Dan beliau selama itu juga tidak pernah mendengar suatu ucapakan kotor.”

Sering sekali ibunya terbangun di tengah malam dan melihat dia masih berada dimihrabnya dalam keadaan bermunajat kepada Allah dan tenggelam dalam kekhusyukan sholatnya. Sampai ibunya memanggilnya , ketika ibunya bertanya kepadanya: “Mengapa kamu tidak tidur?” Jawabnya, “bagaimana aku bisa tidur, sementara malam telah makin larut dan musuhkusenantiasa mengintaiku.” Kata ibunya, “ siapakah musuhmu itu anakku?”, jawab Robi’, “Maut wahai ibu.”

Setiap malam suara tangisnya makin memilukan, pagi dan siang haripun ia sering berlinangan air mata. Sampai-sampai ibunya menjadi bingung dan bertanya, “Anakku sayang , apakah engkau pernah berbuat dosa besar?” jawab Robi’, “Aku telah membunuh orang wahai ibu.” Kata ibunya, “Ya Robb! Kalau begitu segeralah minta maaf dan kita mohonkan untuk bisa membayar diyat kepada keluarganya.” Jawab Robi’;

"Wahai ibu, aku telah membunuh diriku sendiri dan membunuhnya dengan dosa-dosaku, itu sebabnya aku menangis.”

Putri Robi’ ibn Khutsaim berkata, “Wahai ayah, mengapa selalu terjaga? Padahal orang-orang sedang asyik tidur?” Robi’ menjawab, “Sesungguhnya neraka Jahannam terbayang dimataku. Ayahmu tidak dapat tidur karena takut neraka.”

Dari Abu Wail berkata, “Suatu kali kami pergi bersama dengan Abdullah ibn Mas’ud dan Robi’ ibn Khutsaim. Mereka berdua melihat tukang besi. Mereka berdua melihat besi yang sedang menyala dan ditempa. Lalu ibn Mas’ud melanjutkan ke tempat lain. Sampai ditepian sungai Eufrat. Ditepian sungai yang membelah kota Baghdad itu, mereka bertemu dengan seorang pandai besi yang mengerjakan pembuatan perkakas. Saat melihat api yang menyala-nyala itu, Abdullah ibn Mas’ud membacakan ayat al-Qur’an:

“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan, apabila mereka dilemparkan ketempat yang sempit di neraka itu dengan terbelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan” ( al-Furqoon: 12-13)

Saat itu, tiba-tiba Rabi’ ibn Khutsaim pingsan, dan digotong kerumahnya. Abdullah ibn Mas’ud menunggui sampai dhuhur, belum juga siuman. Sampai ashar, belum juga siuman. Maghrib, belum juga siuman. Baru sesudah itu, Robi’ siuman, kemudian Abdullah ibn Mas’ud meninggalkannya.

Ar-Robi’ berkata, “perbanyaklah mengingat kematian, yaitu sesuatu yang tidak pernah kalian rasakan sebelumnya.” Ketika ajal hendak menjemput beliau, putrinya menangis sehingga ar-Robi’ ibn Khutsaim berkata, “Wahai putri ku kenapa engkau menangis? Katakanlah telah datang kebaikan kepadamu wahai ayahku.”

Selasa, 18 Agustus 2015

Kok Celananya Cingkrang? Banjir, ya?

Agustus 18, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah , No comments
Sewaktu di kampus, alhamdulillah Allah memberikan banyak karunia kepada kami pribadi sehingga dapat mengenal manhaj Salaf melalui usaha senior-senior kami (tentunya setelah ketetapan Allah). Semoga Allah merahmati senior-senior yang rela membagi waktu dan tenaganya untuk junior-juniornya dalam rangka kebaikan.

Selanjutnya kami mulai bergabung di lembaga dakwah kampus, KAMUPI PNUP (Keluarga Muslim Politeknik Indonesia - Politeknik Negeri Ujung Pandang), dan mulai menyebar ilmu agama yang diperlukan orang lain. Ada satu kalimat dari salah seorang senior yang cukup menyentuh, katanya;


“apa kalian hanya yang ingin merasakan hidayah itu sendirian saja?”


Jawaban hati kecil kami tentunya tidak. Rasa bahagia ini tentunya ingin kami bagi juga kepada yang lain.


Ciri ikhwan lembaga dakwah kampus di kampus kami adalah sebagian besar bercelana cingkrang. Kalau udah lihat laki-laki dengan setelan celana cingkrang insyaAllah civitas akademika udah pada tahu, “Oh, dari KAMUPI, ya?” Celana cingkrang dilingkungan kampus kami dilihat sebagai ciri khas KAMUPI, walaupun sebenarnya itu bukan ciri khas KAMUPI, melainkan syariat dalam Islam yang perlu diperhatikan.

***

Di suatu pagi, saya dan teman-teman duduk-duduk menunggu dosen di samping koridor kampus. Pandangan saya melihat dari kejauhan beberapa ikhwan berjalan berdampingan, memaksa bibir membentuk senyuman karena melihat mereka mempraktekkan sunnah; tidak isbal. Isbal itu maksudnya memanjangkan pakaian (sarung, celana, atau bentuk pakaian lain) melebihi mata kaki.


Ikhwan-ikhwan tersebut berjalan ke arah kami. Sebelum mereka mendekat, salah satu teman kelas saya berkata, “Awas, banjir, banjir ! Haha”, lengkap dengan tertawa yang entah itu mengejek atau bukan. Yang lain pernah ditertawai juga? Hehe, yang sabar aja. Teman kelas saya itu kemudian diam sambil menahan senyum ketika saya bertegur sapa dengan ikhwan-ikhwan tersebut. Ketika mereka pamit dan pergi ke jurusannya masing-masing, saya langsung menjelaskan ke teman kelas saya mengapa mereka mencingkrangkan celana.


***


Bagaimana menurut anda jika seseorang melakukan sesuatu tanpa alasan atau tujuan? Rasanya segala sesuatu yang dilakukan manusia secara sadar itu membutuhkan alasan atau tujuan. Nah, melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan mengapa memilih men-cingrang-kan celana adalah perkara yang sangat dianjurkan.


Alasan yang pertama;


Dari al-Asy’ats ibn Sulaim berkata:


Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.”


(Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)


Perhatikan pada kalimat Rasulullah;

“Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” 

Inilah alasan yang pertama, yakni meneladani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 31:


“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Walaupun belum bisa meneledani pribadi secara menyeluruh, setidaknya sudah berusaha meneledani sebagian, sebagiannya lagi akan diusahakan kembali. Seperti kaidah yang berlaku, “Segala sesuatu yang tidak bisa dicapai seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya.”


Alasan kedua;


Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.”


(Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)


Alasan ketiga;

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata, “Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab; “Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306).


Nah, Rasulullah menyejajarkan antara isbal, mengungkit-ungkit pemberian, dan melariskan dagangan dengan sumpah palsu. Ini menunjukkan bahwa isbal (memanjangkan pakaian melebihi mata kaki, -red) adalah perkara yang besar.


Alasan Keempat


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;


“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).


Biasanya ketika mendengar alasan kami yang keempat, orang lain bakal bertanya balik, “Tunggu, saya manjangin celana melebihi mata kaki bukan karena sombong loh !”


Hmm, baiklah. Jika kita beranggapan demikian, maka kita kena hadits lain yang bersifat umum. Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)


Nah, bagi teman-teman yang masih suka mengejek teman-teman lain yang bercelana cingkrang, mohon dimaklumi ya? :D … Mereka punya alasan ketika mengangkat celananya. Jika kurang suka dengan celana cingkrang, minimal jangan menghina atau menyindir karena Nabi juga mengangkat pakaiannya di atas mata kaki. Bukankah memang setiap tindakan itu memiliki alasan?

Sebenarnya masih banyak alasan-alasan lain yang kami ambil dari al-Qur’an dan Hadits, tapi rasanya empat alasan saja sudah cukup untuk menjelaskan.


Semoga Allah merahmat kita semua ...

~AiM
__________________
Sumber:

  • quran.com
  • rumaysho.com

Malaikat Jibril dan Fir'aun

Agustus 18, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya dan di-hasan-kan oleh Abu Isa, dengan sanad dari Abdullah ibn Abbas bahwa Nabi bersabda;

"Manakala Allah menenggelamkan Fir'aun, dia berkata, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90). Jibril berkata, "Wahai Muhammad, seandainya kamu melihatku mengambil lumpur laut, lalu aku suapkan di mulutnya karena aku takut rahmat mendapatinya." 

Al-Qur'an telah menyampaikan kepada kita secara panjang lebar tentang Fir'aun, tentang kesombongan dan kelalaiannya, tentang sepak terjang dan perilakunya dalam menghadapi kebenaran. Al-Qur'an juga menyampaikan kepada kita tentang turunnya adzab Allah kepadanya dan bala tentaranya. Manakala Allah menenggelamkannya lalu membinasakannya, Jibril hadir untuk menyaksikan. Jibril telah memberitahu Rasulullah bahwa pada saat Fir'aun tenggelam dia berkata:

"Aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil"

Malaikat Jibril berkata;"

"Wahai Muhammad, seandainya kamu melihatku mengambil lumpur laut, lalu aku suapkan di mulutnya karena aku takut rahmat mendapatinya."

Jibril menyumbat mulutnya dengan lumpur laut, sehingga dia tidak bisa berucap kalimat tauhid, karena takut dia meraih rahmat Allah dan taubatnya diterima. Apa yang dilakukan oleh Jibril tidak lain karena kebenciannya yang sangat besar terhadap thaghut yang tenggelam dalam kekufuran dan kerusakan ini. Dia memerangi Islam dan memfitnah orang-orang beriman.

Mungkin ada yang berkata, ''Apa ruginya Jibril kalau Allah memberi rahmat kepada Fir'aun dan mengampuninya?'' Jawabnya adalah bahwa seorang hamba sampai pada keadaan membenci orang-orang dzalim di mana dia berdoa kepada Allah agar taubat mereka tidak diterima dan tidak dimasukkan ke dalam rahmat-Nya. Ini terjadi pada Musa. Dia berdoa atas Fir'aun dan bala tentaranya agar Allah mengunci mata hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat adzab yang pedih.

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus: 88)


Mungkin ada yang berkata, ''Bukankah sudah maklum bahwa Allah tidak menerima taubat pada saat turun adzab, dan pada saat nafas di kerongkongan?'' Bagaimana Jibril mengira bahwa Allah mungkin mengampuni Fir'aun sementara dia dalam kondisi seperti itu? Jawabnya adalah bahwa Jibril melakukan apa yang dia kira tanpa menoleh kepada ilmu Allah. Wallahu a'lam.

Sumber: 
Umar Sulaiman al-Asyqor; Kisah-Kisah Shahih dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Senin, 17 Agustus 2015

Sebatas Pinjaman

Agustus 17, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Malik di Muwattha’ meriwayatkan dari Yahya bin Said dan Al-Qasim bin Muhammad bahwa dia berkata, "Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziyah. Muhammad berkata, "Di kalangan Bani Israil terdapat seorang faqih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia beristri. Dia mengagumi dan mencintai istrinya. Ketika istrinya wafat, dia sangat bersedih dan sangat menyesalinya, hingga dia menyendiri di rumah, menutup diri, dan menghindari orang-orang. Tidak ada seorang pun yang menemuinya."

Ada seorang wanita yang mendengarnya. Dia mendatanginya dan berkata, “Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.” Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu. Wanita ini berkata, “Aku harus bertemu dengannya.” Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu, “Ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata bahwa ia hanya ingin berbicara denganmu.' Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu.”

Alim itu pun berkata, "Suruh dia masuk." Wanita itu masuk dan berkata, "Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara." Alim itu bertanya, "Apa itu?" Wanita ini berkata;

'Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?' 

Laki-laki itu menjawab, 'Ya, demi Allah.'

Wanita itu berkata; 

"Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu." 

Laki-laki itu menjawab, 

"Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu." 

Wanita itu berkata, 

"Semoga Allah merahmatimu ... Apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?"

Laki-laki alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini sangat berguna baginya."


Pelajaran dan Faedah dari Hadits
  1. Seorang ulama bisa lalai terhadap apa yang mereka ketahui dan mengerti, sebagaimana alim fiqih ini lalai terhadap kewajiban bersabar pada waktu turunnya musibah yang diketahui oleh semua orang. Dan bahwa apa yang Allah ambil hanyalah apa yang dia titipkan kepada kita.
  2. Orang pandai lagi berakal agar menunjukkan kesalahan dan kelalaian orang lain, seperti yang dilakukan oleh wanita ini terhadap alim tersebut.
  3. Ilmu dan pemahaman bukan monopoli kaum laki-laki saja. Tetapi dimiliki bersama. Wanita ini telah menyadarkan laki-laki alim.
  4. Tidak ada halangan bagi wanita ketika berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia, asalkan dia bisa menjaga diri dari mudharat dan terjerumus ke dalam hal yang diharamkan.
  5. Pentingnya membuat perumpamaan. Perumpamaan menghilangkan syubhat, melenyapkan kesulitan, meluruskan orang yang melenceng, dan memberi nasihat kepada orang yang sesat.
  6. Menghibur orang-orang dengan berita orang-orang terdahulu yang sama dengan keadaan orang yang diberi nasihat.

Sumber:
Umar Sulayman al-Asyqor, "Kisah-kisah Shohih dalam al-Qur'an dan as-Sunnah."

Minggu, 16 Agustus 2015

Saling Mendoakan, Menasehati, Memaklumi ...

Agustus 16, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments
Akhi, jangan terburu-buru dan seakan memaksa seseorang untuk berubah karena hidayah Allah lah pengaturnya. Saling mendoakan dan menasehatilah dengan baik.

Jangan terburu-buru. Apa daya kita yang statusnya sama? Hanya sebatas pemeran sandiwara dunia dan tanpa kekuatan sama sekali ! Hidayah bukan milik kita, tak mampu pula kita menerka siapa yang akan menjadi jawara diujung cerita nantinya. Saling mendoakan, saling menasehati, dan saling menyayangi. Bukan
kah kita bersahabat?

Persahabatan kita ini pun lebih dari sekedar sahabat yang terhapus oleh tanah jika kita telah direbahkan dipembaringan sepi nan sempit dua kali satu itu.

Maaf, Aku lupa, ternyata ini bukan persahabatan, ini persaudaraan! Persaudaraan kita ini karena agama, yang aromanya lebih sedap dan rasanya lebih gurih dari sekedar bersahabat.

Ah, ingin rasanya aku bersaudara dengan kalian seperti para Sahabat saling bersaudara, bukan karena darah, tapi karena millah (agama). Jika tidak bisa, maka aku berharap bisa bersaudara dengan kalian seperti persaudaraan Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, yang kasih sayangnya melekat walau salah satu diantara mereka telah wafat.

Dimasa hidup, Imam Ahmad menitip pesan kepada Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i lewat secarik kertas. Kertas itu melalang buana dari Iraq menuju Mesir, berisi pesan penuh doa, nasehat, dan kasih sayang antar saudara seagama.

Beberapa tahun kemudian, ketika Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i wafat, Imam Ahmad menitip pesan kepada Sang Penjaga Subuh Yang Tidak Terkalahkan lewat doa, moga-moga saudara seagamanya yang terkasih, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i, diampuni dosa-dosanya. Ketika Imam Ahmad bertemu anak Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i, Imam Ahmad berkata, “ketahuilah, aku memintakan ampun untuk ayahmu setiap pagi menyingsing.”

Akhi, perubahan itu bertahap, sebagaimana para Sahabat juga berubah secara bertahap. Jika kita mampu melesat dari yang lain, maka maklumilah saudara mu yang masih terbata-bata mengambil langkah menuju perubahan. Jangan membenci saudaramu hanya karena ia sangat lambat menuju kebaikan.

Bukankah indah jika kita saling memaklumi saudara kita yang belum paham, sebagaimana Syaikh Abdurrazzaq al-Badr –hafizhohullah- ketika melihat wanita pesolek yang mengantri berwudhu dan hendak sholat, Syaikh berkata "Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka karena sholat mereka ini. Kasihan … karena kejahilan mereka". Syaikh memaklumi wanita tersebut yang belum paham dan lamban dalam berubah, serta mendoakannya. Lihatlah, inilah indahnya persaudaran karena agama.

Bukankah kita bersaudara? Maklumilah saudara mu yang belum dapat berjalan tegak nan gagah seperti antum. Tuntun, ah bukan, maksudku papah ia hingga ia berhasil berdiri gagah dan tegak seperti antum! Inilah tujuan kita bersama. Kemudian, pegang tangan saudaramu, berlarilah bersama-sama, menuju tempat bertemu kita kembali dan bernostalgia diatas dipan-dipan, dibawah pohon rindang yang tidak panas tidak pula terlampau dingin, daun-daunnya saling bersentuhan membentuk irama yang menenangkan hati, gelas-gelasnya dari kristal, dan pemukimannya dari mutiara-mutiara raksasa. Ya, dimana lagi kalau bukan Jannah? Ya, jannah kelas terbaik, Jannatul Firdaus !!!

Inilah alasan kita bersaudara karena agama; saling mendoakan, saling menasehati, saling memaklumi.

~AiM

Sabtu, 15 Agustus 2015

Gelang

Agustus 15, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah No comments

Gelang yang terikat terlalu kuat pada pergelangan tangan mu hanya akan menyakiti. Membuat tanganmu keram karena aliran darah yang tersumbat. Jika ia terlalu longgar, cepat atau lambat akan terlepas dimomen kamu sama sekali tidak menyadarinya. Kamu bahkan tidak tahu kapan dan dimana gelangmu terjatuh.

Percayalah, ini sama seperti kamu mengikatkan hatimu pada seseorang. Usahamu mengikat sekuat-kuatnya, berharap tidak akan terlepas dan hanya berada didekapan tanganmu, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Seperti gelang yang membuat tanganmu keram, perasaan yang berlebih-lebihan bisa membuatmu mati rasa. Sepi. Sakit. Menderita.

Longgar pun hasilnya akan sama. Kamu sendiri tidak menyadari kepergiannya dalam senyap. Halus. Tidak berbekas. Hasilnya akan sama; sakit. Bukan jasad, tapi hatimu. Bukankah memang hati yang menderita menjadi sebab musabab jasad yang merana?

Bersikap pertengahan selalu menjadi pilihan yang terbaik. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, Baginda Nabi bersabda;

“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” 

Ya, sekedarnya saja, sewajarnya saja. Jangan berlebih-lebihan. Jangan memaksa.

~AiM

Garis Sejajar dan Tidak Sejajar

Agustus 15, 2015 Posted by Salam Fadillah Alzah 3 comments
Teringat pesan seorang nenek yang mengajarkan sesuatu tentang garis, katanya;

“Hanya ada dua nasib untuk dua garis yang sejajar. Berhimpit dan bersama selamanya sepanjang apapun garis itu ditarik; atau terpisah selamanya tanpa sekalipun bertemu di satu titik potong, sepanjang apapun kedua garis itu ditarik.
Atau kesedihan yang mendalam seperti dua garis yang tidak saling sejajar. Mereka pasti bertemu di satu titik, lalu terpisah saling menjauh selama-lamanya.”

Biar aku berikan contoh Kisah Cinta Garis Sejajar.

Pernahkah semilir angin mendendangkan kisah cinta Laila dan Qois “Majnun” ke kedua telingamu? Mereka seperti Garis Sejajar! Laila mencintai Qois “Majnun”, begitu pula Qois yang begitu mendalam cintanya pada Laila, terkurung dalam rasa hingga membuat Qois terlihat seperti orang gila. Hilang arah. Larut sempurna dalam cairan keputusasaan!

"Mereka tidak bertemu sejauh apapun garis kehidupan mereka ditarik. Mereka hanya berhadap-hadapan dan tidak lebih dari itu, tidak pula bertemu pada satu titik!"

Akan aku berikan lagi permisalan Kisah Cinta Garis Tidak Sejajar.

Pernahkah anda melihat tarian pena diatas kertas yang menggubah kisah cinta Mughits dan Barirah? Mughits sangat mencintai Barirah, akan tetapi mereka terpisah karena suatu keadaan yang kedua tangan Mughits sendiri tidak mampu menahannya; perpisahan.

Buliran air dari mata Mughits perlahan merangkak kemudian berlari bebas menuju pipi dan membasahi jenggotnya, berharap Barirah kembali seutuhnya seperti dahulu kala ketika mereka beradu kasih dalam sebuah “pertemuan”.

Mughits meminta kepada Barirah untuk tetap bertahan, hingga cintanya memaksa malu seakan tidak sudi menetap di jiwa dan badan. Namun, Barirah memutuskan untuk terus melanjutkan garisnya dan pergi menjauh. Selamanya!

"Seperti dua garis tidak sejajar yang pernah bertemu disatu titik, akan tetapi selanjutnya terpisah dan saling menjauh selama-lamanya. Jauh. Semakin Jauh! Sekalipun usaha menjadikan peluh dan keluh terkumpul penuh."

_______________________________________

Aku juga sulit melepas dan menerima. Hasrat ingin memiliki itu memang baiknya sekadarnya saja, agar ketika cerita kita seperti Garis Sejajar, hati sudah siap merelakan segala harapan terbang bersama angin yang membelai halus wajah yang sendu.

Hasrat ingin memliki itu seperlunya saja, agar ketika cerita kita seperti Garis Tidak Sejajar jiwa sudah siap melepaskan sesuatu yang bukan milik kita. Tunggu, bukankah kita memang bukan pemilik diri sendiri ??

Terima apapun yang Allah tetapkan ketika diri telah berupaya dengan segala jenis upaya. Allah sudah menetapkan yang terbaik dan tetaplah berprasangka baik. Yakinlah, menerima dan melepas dengan hati yang tenang karena Allah akan memilihkan yang terbaik untuk hamba-Nya agar dalam cerita hamba tetap menjadi pemenang.

Siapa yang tahu jika ternyata Allah sudah menyiapkan garis yang lain? Garis yang akan bertemu pada kondisi yang terbaik dan tidak terpisah dan saling menjauh?

Wallahu a’lam ...

~AiM
~NurusySyimal