Suatu malam di bulan Oktober tahun lalu, ketika dalam perjalanan pulang dari
kampus, aku bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang tampak kebingungan,
dengan tumpukan kerupuk ditangan kanan dan tongkat ditangan kirinya. Aku
mengenal jelas siapa ibu itu. Dia adalah wanita paruh baya yang hampir setiap
hari berjualan kerupuk di depan stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalian yang pernah menuju
atau dari stasiun Pasar Minggu di sore hari insyaAllah akan bertemu ibu
tersebut yang sering menawarkan dagangannya.
Melihat beliau
yang terlihat kesulitan dan kelelahan, aku pun menyapa dan mengantar beliau ke
peron*, menunggu kereta menuju Bogor. Disinilah percakapan haru kami dimulai.
“Ibu mau kemana?
Mau pulang?”
“Iya … ”
“Sini aku antar
bu”, aku pun mengantar ibu itu, sambil membantu memegang kerupuk yang ia bawa.
“Ibu tujuan
kemana?”
“Bogor nak. Aku
ama keluarga tinggalnya di Bogor” Jawab ibu itu dengan sopan dan ramah.
“Oh, ibu tinggal
di Bogor. Kerupuk ini ibu yang buat atau beli terus ngemas sendiri?”
“Ini aku beli
banyak, terus ngemas sendiri.”
“Untung ruginya
gimana?”
“Untungnya gak
seberapa, tapi cukup”
Oh iya aku lupa
memberi tahu, ibu tersebut buta. Meski tidak dapat melihat, pantang ia
meminta-minta. Ia tetap berusaha bekerja semampunya dengan tertatih-tatih,
walau dengan kekurangan yang ia miliki. Pakaiannya pun rapi, berusaha menutup
aurat dan berusaha mengurangi kesan sekadar menutupi. Sekiranya kita dalam
kondisi fisik seperti beliau, apakah kita mampu?
Kemudian, ada
sedikit yang mengganjal dipikiranku, lalu aku berusaha menyusun kata agar tidak
menyinggung perasaan.
“Bu, aku minta
maaf sebelumnya. Ibu seperti ini (tuna netra), apa gak takut rugi karena
ditipu?”, tanyaku perlahan. Semoga saja tidak tersinggung.
Kemudian ibu itu
tersenyum tulus, tidak ada tanda-tanda tersinggung dari wajahnya, “Allahu a’lam
ya nak kalau ada yang mau nipu, tapi aku yakin rejeki itu Allah udah ngatur.
Jadi, kalau misalnya ada yang nipu ya, allahu a’lam nih, aku kan rugi tapi aku gak tahu,
tapi aku tahu kalau Allah tahu.” Aku merenung, dalam nian maksud ibu ini.
Ibu itu lanjut
bertutur, “Aku gak tahu kalau aku ditipu (karena buta). Tapi, biasanya ada aja
orang yang bayarnya lebih. Aku jualnya sebungkus enam belas ribu, kan biasa gak
ada kembalian karena duitnya dua puluh ribu, kadang pembeli bilang, ‘udah,
untuk ibu aja’, alhamdulillah …”, beliau tertawa ringan.
Aku semakin lemas.
Sial, aku belajar tauhid bahwa Allah yang mengatur rezki, tapi sering khawatir
terhadap rezki yang jelas-jelas akan mendatangi kita sebagaimana kematian
mengincar kita.
Aku terharu.
Ada-ada saja pelajaran yang dapat kita petik dari orang yang berada dibawah
kita. Sebagaimana dalam sebuah hadits;
: وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
انْظُرُوا
إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ،
فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
(مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ)
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Lihatlah orang yang berada di bawah
kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu
lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah
dianugerahkan kepada kalian.”
(Muttafaq ‘Alaihi)
Secara fisik dan materi, mungkin aku lebih tinggi dari beliau,
tapi dari hati dan keyakinan beliau lebih. Terlalu jauh malah. Sembari
mengantar beliau dan berhati-hati, aku terus memikirkan kalimat-kalimat yang
beliau ucapkan tadi.
Aku mengantarnya sampai ke peron, kemudian menitipkan beliau ke
security yang berjaga disitu. Ibu itu lalu berkata, “Nak, ini ambil satu, buat
teman ngopi.” Aku keberatan, “Maaf bu, jadi gak enak. Ibu lebih butuh buat
jualan.” Beliau menjawab, “Udah ambil aja gak apa-apa.”
Dengan berat hati aku terima demi menyenangkan hati ibu tersebut.
Ah, aku lupa bertanya nama. Aku langsung pamit pulang dan berterima kasih. Lalu
aku menarik nafas dalam-dalam dan bertutur dalam hati, “Satu pelajaran lagi
hari ini.”
~Alza Maligana
__________
*Peron (dari bahasa Belanda: perron) adalah jalan kecil yang
sejajar dengan rel kereta api tempat lalu lalang penumpang di stasiun kereta
api, halte kereta api, atau tempat pemberhentian transportasi rel lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar