"Tak perlu berlebihan. Yang pertengahan saja. Yang sederhana saja"

Selasa, 13 September 2016

Ku Cantumkan Ode di Depan Namaku, Haruskah?

September 13, 2016 Posted by Salam Fadillah Alzah , , , , 8 comments
Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri dalam memberi nama dan gelar untuk membedakan status sosialnya. Misalnya, Makassar dan Bugis dengan gelar Opu, Daeng, Karaeng, Arung, Bau’, atau Puang. Di Jawa malah lebih ribet lagi. Adapun di Buton, sistem seperti itu juga ada, yakni La Ode untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan.

Awalnya gelar ode hanya diberikan kepada sultan terpilih, kemudian Siolimbona atau Dewan Adat selaku salah satu penentu kebijakan memutuskan untuk memberikan hak kepada keturunan sultan untuk menyematkan gelar ode di depan namanya. Tujuannya adalah untuk pengidentifikasian keturunan-keturunan sultan yang memiliki kompetensi dan jiwa kepemimpinan di kemudian hari, walaupun pemilihan sultan di Buton dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat, bukan tahta yang diberikan secara turun temurun seperti kerajaan lain.

Cara untuk memperoleh gelar ode ada dua. Pertama, gelar tersebut didapatkan jika ayahnya seorang ode. Jika sang ayah adalah seorang ode dan ibunya bukan dari kalangan ode, maka sang anak akan tetap menyandang gelar ode. Akan tetapi, jika sang ayah bukan dari kalangan ode dan sang ibu menyandang gelar ode, maka secara otomatis anak-anak mereka tidak berhak menyandang gelar ode.

Kedua, gelar tersebut adalah pemberian dari pemerintahan kesultanan karena telah memberikan sesuatu yang sangat bermanfaat untuk kesultanan, baik dalam bentuk materi atau non materi. Contohnya seperti Sultan Murhum dari daratan Muna yang mendapatkan gelar ode dari Kesultanan Buton kemudian diangkat menjadi sultan karena mengalahkan La Bolontio, Sang Bajak Laut Bermata Satu.

Bagaimana penjelasan asal mula kata ode? Entahlah, saya bingung menjelaskan. Saya tidak berani mencantumkan karena masing-masing berbeda versi dan beberapa terkadang mengada-ada. Atau mungkin itu hasil filsafat yang begitu dalam? Sekali lagi, entah.

Namun nalar ini sedikit terkilir, untuk apa gelar itu? Haruskah disematkan?

Di kartu keluarga, nama saya jelas tidak tercantum gelar ode, begitupun ayah saya. Kakek saya juga tidak tercantum gelar ode di depan namanya. Padahal, buyut saya seorang ode, beliau bernama La Ode Juma. Karena buyut saya seorang ode, otomatis kakek saya pun seorang ode. Nenek saya pun ode, Wa Ode Habibah namanya. Jika ingin membubuhkan gelar ode depan nama saya, maka itu tidak menjadi masalah.

Kenapa kakek saya menyembunyikan gelar itu? Secara jelas, saya tidak tahu mengapa. Tapi belakangan saya dapati, ada beberapa yang menyembunyikan gelar ode-nya, bukan hanya kakek saya. Gelar ode itu bertalian dengan tanggung jawab yang sangat berat di punggung pemilik gelar karena sejatinya ia menjadi teladan di masyarakat.




Sekarang seseorang bergelar ode atau bukan perlahan tidak lagi menjadi masalah. Tolak ukur masa kini adalah pendidikan. Sekalipun ia dari golongan kasta bawah*, tapi pendidikannya lebih baik dari sebagian ode, maka gelar hanya sekedar gelar. Persaingan terbaik sedari dulu hingga sekarang adalah pendidikan.

Sebenarnya saya mulai tidak terlalu memusingkan gelar itu, biarlah tetap tersembunyi. Hanya saja, saya mulai gerah pada sebagian orang yang bergelar ode tapi tidak memberikan contoh yang baik kepada orang lain. Terlalu sibuk berbangga-bangga dengan leluhurnya tanpa usaha memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar. Tak perlu berlebihan, secara nasab memang kita menjadi baik, tapi kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan suatu saat tidak akan bermanfaat bagi kita.

Kehidupan leluhur kita adalah kehidupan mereka, kehidupan kita adalah kehidupan kita. Jika leluhur kita adalah satu di antara manusia-manusia baik yang Allah turunkan di masa lalu, maka itu menjadi poin pelengkap, bukan utama. Untuk apa gelar kebangsawanan tersemat jika kita bertolak belakang dengan kearifan leluhur? Bahkan, bagai bumi dan langit? Jauh!

Apa saya merasa diri lebih baik dari yang lain? Tidak, tidak seperti itu maksud tulisan ini. Obyek kritikan saya adalah para penyandang gelar ode yang berkelakuan buruk. Namun, tidak semua ode itu buruk. Fatal jika saya mengatakan semua ode itu buruk. Banyak para ode yang saya dapati memiliki pribadi yang sangat baik dengan wibawa yang besar.

Terakhir, gelar kebangsawanan hanya akan menjadi deretan huruf sekasta debu nan nihil makna jika tidak diiringi dengan kebaikan budi dan teladan yang baik. Selebihnya, mari berkarya untuk negeri. Gelar hanyalah gelar, tak akan berarti jika tanpa pembuktian bahwa kita pantas menyandang gelar tersebut. Seharusnya kita malu jika ode tersemat di depan nama, tapi sikap dan sifat tak mencerminkan seorang ode.


Jakarta Selatan, 13 September 2016




~Alza Maligana

__________


* Di Buton terdapat tiga kasta, yakni dua kalangan atas; Walaka dan Kaomu. Kedua kasta ini adalah para bangsawan, mereka menyandang gelar ode. Adapun kasta terendah adalah papara, yakni budak. Di Baubau sendiri masih keturunan papara masih banyak, tapi mereka mulai menunjukkan eksistensi dengan memperbaiki diri dan bersaing terbuka lewat pendidikan.

8 komentar:

  1. Maa syaa Allah... Suka sekali dengan tulisan ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jazakallahu khair.

      Terima kasih sudah mampir :D ...

      Hapus
  2. Keren Syukron atas tulisannya. Nambah referensi.

    BalasHapus
  3. mengutip kalimat saudara di atas (Di Buton terdapat tiga kasta) saya masih kurang paham dengan sistem pembagian kasta yang selama ini direproduksi di buton, sangat bertolak belakang dengan nilai2 islam dimana seperti yang diyakini di buton itu sendiri bahwa dimasa lalu buton kental dengan nilai2 islam, yang pertanyaan saya pembagian kasta dibuton ada sejak kapan dan siapa penggagasnya dan untuk tujuan apa?? mohon pencerahannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pertanyaannya saudara, insyaAllah saya coba jawab di tulisan selanjutnya

      Hapus
  4. Tidak ada pembagian kasta di buton. yang ada adalah pembagian golongan di masyarakat, yaitu golongan yang memimpin dan yang dipimpin. Dua golongan yang memimpin dan 1 golongan yang dipimpin (rakyat jelata). Masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Adapun pemahaman budak dalam islam tidak bisa disamakan dengan budak dalam pemahaman bangsa barat seperti yang terjadi di benua Amerika. Setahu saya, dalam islam, Seseorang menjadi budak karena beberapa hal, misalnya: tawanan perang atau memiliki hutang yang tidak dapat ia bayar. Pemilik budak harus memperlakukan budaknya seperti keluarganya sendiri, misalnya memberi makan, pakaian, dan pendidikan yang sama dengan keluarganya. Adapun batua agaknya masuk ke dalam kategori orang yang dikalahkan/ditawan, biasanya karena melakukan pemberontakan. Ini adalah praktek yang umum dalam dunia islam hingga berakhirnya kekhalifahan dan munculnya nasionalime dan negara modern sekuler. Wallahu a'lam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Ini tulisan lama dan belum saya koreksi. Terima kasih masukannya.

      Bahasan tentang strata sosial di Buton sudah saya bahas
      di blog ini, sila cek:
      http://salammaligana.blogspot.com/2018/04/strata-sosial-di-tanah-buton-sebuah.html?m=1

      Hapus